Saturday, January 16, 2010

Chatting dengan Pa Adnan (Dosen Saya di Akatel)

"Sebetulnya itu cuma persoalan persepsi Mas", kata Pa Adnan menutup obrolan di YM kemarin.

Tiga orang ada mungkin, yang menyarankan saya segera keluar saja dari kuliah. Fokus di bisnis. Kata Bob Sadino juga begitu, entrepeneur tapi tetep kuliah, ya entrepeneur banci namanya. Tapi obrolan dengan Om Bob secara pribadi waktu itu di sebuah cafe di Bandung memahamkan saya bahwa "kuliah" itu berbeda dengan "kuliah".

Paham tidak? Kalau tidak paham, tunggu postingan kapan-kapan saya tentang bedanya "kuliah" dan "kuliah", saya tidak akan bahas disini. Tapi ada satu gambaran yang mungkin bisa menuntun pemahaman Anda. Begini, kuliah saya dibiayai orang tua, alhamdulillah orang tua saya ridho, tidak terpaksa, buktinya sering saya ditanya duluan soal bayaran, hampir tidak pernah minta duluan. Pesan Bapak saya begini "kuliah yang bener!".

Coba apa definisi kuliah yang benar menurut orang kebanyakan? : cepat selesai, kalau perlu cumlaude, kalau sudah selesai mau lanjut lagi ya boleh, atau cari kerja, cari penghidupan dari nilai yang tertera di ijasah-ijasahmu. Soal nyontek, soal titip absen, itu bukan urusan Bapak, bukan juga urusan Departemen Agama.

Setelah lulus, banyak-banyak berdoa agar bernasib baik. Seperti apa nasib baik yang tergambarkan saat berdoa itu? Mengirim lamaran lalu dapat panggilan dan diterima kerja, dengan gaji yang tinggi, menjadi ekor singa di ibukota. Mudik setahun sekali, yang penting tiap bulan ngirimin orang ke kampung. Sedekah 2,5 % itu sudah cukup menurut anjuran agama. Bekerjalah yang baik agar bisa pensiun dengan tenang. Kalau ada rasa bosan, ada naluri kebebasan untuk mengembangkan diri yang terbendung di kantor, katakanlah pada diri sendiri "sudah, ini jalan hidupku, jalani saja, ikhlas saja."

Entahlah, tapi (dengan boleh dipersalahkan atau diperbenarkan) saya punya pendapat yang berbeda tentang kuliah yang benar. Kuliah yang benar adalah mempersiapkan kehidupan yang baik dilandasi dengan penghidupan yang baik. Kekuatan materi disiapkan dengan manajemen prioritas, keberanian mengambil resiko dan bertanggung jawab atas susah senangnya keputusan itu, menjalin relasi yang diluar nalar luas dan tingkatannya, memelihara api idealisme sebagai kekayaan terakhir anak manusia yang kebanyakan lenyap ketika usia muda berakhir dan membangun pilar-pilar masa depan hari ini, mencakup aspek : mental, spiritual, adversity dan skill.

Sehingga seselesainya kuliah saya menjadi manusia, bukan menjadi robot, bukan menjadi mesin, bukan menjadi perpustakaan berjalan. Manusia yang memiliki daya imajinasi menyalak-nyalak, manusia yang memiliki kiprah seluas gandhi, semandiri Dahlah Iskan, sefenomenal Onno W Purbo dan sebermanfaat Triyono Budi Sasongko.

Ya, tentu orang tua saya lebih senang saya tetap menjadi orang, bukan berubah menjadi robot, mesin atau perpustakaan seselesai saya kuliah nanti. Namun demikian, kuliah saya yang kali ini saya rencanakan untuk saya rampungkan 2 semester kedepan. Mengapa begitu? Ada dua alasan utama yang dari beberapa waktu lalu saya simpan dikepala dan kali ini saya ingin tuangkan di note.


Pertama : Chat dengan Pa Adnan

Mungkin bisa dilihat lagi kalimat pembuka note ini, ya, kuliah menyenangkan atau membosankan itu masalah persepsi saja. Sama seperti di postingan lain saya yang berhasil mengubah persepsi adik saya tentang bau uap kawah sebuah kawah di Dataran Tinggi Dieng, dari yang semula dia (adik saya) pikir sebagai bau tidak enak, menjadi bau yang unik (dan enak).

Saya bukan hanya mengajarkan ke adik-adik saya soal persepsi, di training-training saya juga saya sampaikan, di banyak training yang saya ikuti juga saya terima soal ini, di banyak obrolan dengan orang-orang terbaik di negeri ini juga saya dapati materi ini.

Hm, apa iya, untuk materi yang saya bawakan sendiri, saya tidak mau bereksperimen membuktikannya untuk persoalan kampus? Bagaimana mungkin rumus mengubah persepsi yang saya ajarkan saya bilang ampuh, kalau untuk persoalan sepele (kampus) saja saya tidak iseng-iseng coba terapkan?

Itulah alasan pertama saya, saya ingin mengikuti pengingat dari Pa Adnan karena sinkron dengan materi training saya : ubah persepsi dan suskes (dikampus).

Kedua : Sejalan dengan Fase Entrepeneurial Saya

Ini tahun keempat saya berentrepeneur, tahun depan berarti tahun kelima? Apa artinya, kalau saya mengabaikan perbandingan kesuskesan saya dengan teman-teman lain, kalau saya hanya menjadikan parameter kondisi saya sebelum saat ini dengan kondisi saya saat ini, berarti saya sudah sukses ribuan persen.

Memang, kesuksesan yang ribuan persen itu menjadi susah terakumulasi karena bentuknya bermacam-macam, ada yang dalam bentuk kekayaan finansial, kekayaan relasi, kekayaan konsep, kekayaan investasi pilar-pilar masa depan, kekayaan ketahanan mental, kekayaan pengetahuan dan pengalaman hingga kekayaan koleksi kegagalan.

Mulai Awal 2010 kemarin saya berkomitmen untuk mentransformasikan kekayaan yang saya dapatkan itu fokus pada kekayaan finansial, karena apa? kekayaan finansial pada kondisi saya saat ini akan berpotensi menjadi NOS untuk melesatkan kekayaan-kekayaan saya dari keseluruhan segi.

Dan dengan tingkat toleransi kemelesetan hitun-hitungan hingga 4X lipat, seharusnya ketika pas saya selesai kuliah nanti, saya telah mencapai fase entrepenuer aman. Dimana seperti yang para guru-guru terbaik saya bilang, "kamu akan tetap diakui sebagai manusia utuh" (haha, seperti apa manusia tidak utuh itu?).

Apa maksudnya manusia utuh? Saya tidak perlu cemas karena orang tua tidak akan menuntut saya mendaftar CPNS, saya tidak perlu mengemis ke calon mertua dengan status palsu untuk menyunting anaknya. Ya, penghidupan aman, jadi saya tinggal fokus ke kehidupan. Bagaimana usaha yang empat tahun saya fokusi ini berkembang dan melesat, bagaimana orang-orang disekeliling saya yang selama ini terabaikan dapat terberdayakan dengan optimal, bagaimana peluang-peluang besar yang dulu terasa diatas langit saat itu bisa dikelola, bagaimana dunia memandang saya sebagai saya dengan karakter yang saya bawa, bukan pada gelar, pada institusi yang saya naungi.

Ya, setahun lagi saya siap untuk tidak menyandang status mahasiswa. Dan selama setahun kedepan adalah praktikum saya membuktikan kekuatan mengubah persepsi dengan kampus sebagai laboratoriumnya.