Sunday, December 25, 2011

Meraba Indonesia

Kemarin baca bukunya Zikin, judulnya Meraba Indonesia. Kisah perjalanan Farid Gaban & sahabatnya, berkeliling Indonesia dengan naik sepeda motor. Menarik menarik, kisah keliling nusantara seperti ini pernah juga dilakukan oleh wanadri, namanya ekspedisi Garis Depan Nusantara. Beruntung aku pernah ketemu dengan personel2nya, ketika waktu itu Kompasiana mengundang teman2 Wanadri berkisah tentang expedisi itu. Kalau yg farid gaban, kurang beruntung agaknya aku karena dulu kawanku tak sempat mengajakku ketika ada pemutaran film hasil ekspedisinya. Tapi tak apa, sudah aku follow twitternya, begitu ada info, nanti aku catch!

Yang menarik menurutku adl, setiap orang mempunyai caranya sendiri dalam mencintai indonesia. Kalau helmy yahya dulu saat masih miskin ingin sekali ke jakarta dan menaklukan kota itu, farid gaban yang notabenennya hidup sbg wartawan yang penat dgn kesibukannya dan bosan dengan keriuhan kota besar justru sebaliknya, ingin ke kampung, berbaur dengan orang2 desa yang hidup polos di pedalaman.

Ya, setiap orang memiliki cara yg bereda, tergantung latarbelakangnya.kalau dia orang kota, mungkin berpikir surga indonesia ya di desa. Tapi kalau dua anak kampung yang masyarakatnya statis dan aksesnya terbatas, kota adalah visinya.

Yang terpenting adl bukan mengubah desa jadi seperti kota, atau kota menjadi seperti desa. Tapi bagaimana terjadi re-integrasi sosial di dalam setiap itu..

Thursday, November 17, 2011

Sang Penari



Menonton film ini, seperti menonton keseharian kita sendiri. Bahasa banyumasan yang dikenal sbg bahasa ngapak dibawakan oleh slamet raharjo dkk pemain film ini dengan apik. Ada scene tempe bongkrek, menderes, mandi di kali sampai tentu saja tarian seorang rongeng cantik dari dukuh paruk. Srintil namanya.

Film ini memang diangkat dari novel kesohor besutan ahmad tohari, orang banyumas tulen yang sudah menjadi tokoh nasional saat ini. Namun begitu, kata pa ahmad tohari, film tidak sama dengan novel. Film sang penari ini adalah penafsiran dari salah seorang pembaca novel, yaitu sang sutradara.
Erotis. Itulah yang aku tangkap dari adegan2nya. Ada adegan ML di kandang kambing, adegan srintil sedang dilulur bagian dadanya, dan bnyak lagi lainnya.

Jadi teringat pesan teman baikku kemarin : nikmati dengan rasa seni, bukan dengan nafsu. Haha, benar sekali nasehat itu.

Soal isi, aku terlalu dangkal untuk mampu mencerna. Apalagi aku belum pernah membaca novelnya. Satu mungkin yang aku tangkap adalah betapa seni, dijadikan komoditas oleh kaum yg melek kapital dan kekuasaan. Dukun ronggeng bertindak seperti mucikari yang mendapatkan uang ketika ronggengnya usai ditiduri. Lalu ketika parpol masuk, penari ronggeng dijadikan bagian dari alat kampanye, sampai di penghujung film, penari ronggeng tak ubahnya seorang pengamen, menari untuk mecari uang.
Sent using a Nokia mobile phone

Wednesday, November 16, 2011

Mas Bebi

Alhamdulillah, semalam kesempatan ketemu manajer sebuah BMT, mas Beby namanya. Dia kepala cabang di purwokerto. Cukup omber dan marem ngobrol semalam. Ada banyak hal menarik semalam. Kali ini,di share 2 dulu saja ya.

Pertama, mas bebi menuturkan tentang ciri negatif orang indonesia. Yakni (1)malas mencatat, (2)gumunan.

Benar sekali. Terutama point kedua, kebanyakan dari kita itu begitu gumunan. Si A lg exchange ke Belanda = gumun. Si B lolos seleksi ini = gumun. Si C bisa sukses develop bisnis = gumun. Dan seterusnya, dengan mudahnya membubungkan oranh lain dihadapan diri sendi, tanpa sadar yg terjadi saat itu diri kita sedang dipress habis oleh diri sendiri menuju arah kerendahdirian.

Banyak lagi contoh, betapa gumunannya kebanyakan kita. Sampai2 gumun, kalau diri kita bisa mencapai apa yang orang lain capai.

Hal kedua, adalah tentang persoalan kemiskinan. Ini bukan mendengar pertama kali si, bahwa ada dua kualifikasi insan manusia, pertama adalah pengkhianat intelektual dan kedua adalah pejuang intelektual. Nah,kemiskinan adalah korban ulah para pengkhianat intelekual? Siapakah mereka?yakni orang2 yang menggawangi bank2 besar, yang lebih senang menyalurkan uangnya untuk membeli SBI ketimbang menyalurkannya untuk pemberdayaan rakyat.

Lalu siapakah pejuang intelektual itu? Ya orang yang menggunakan ilmunya bukan hanya untuk menimba gaji, tapi selalu memperjuangkan kemudahan bagi orang lain. Ya seperti mas Beby itu contohnya.

Sent using a Nokia mobile phone

Ibu Wirengsari

Setelah sekian lama tidak bertandang, kemarin akhirnya ketemu lagi dengan seorang ibu bernama, ibu Wirengsari. Ibu wirengsari adalah ibunya puput. Ibunya puput adalah pegawai di upk cilongok.

Setel kendo, itulah insight yang kemarin 'tuing' muncul saat ngobrol dengan beliau. Ketika kita bercakap-cakap kemarin "sibuk apa riz, nggak pernah main si?, aku jawab ringan "sibuk pahal bu". Lalu bu Wireng menimpali, "sibuk? Santai aja kenapa? Belum ada tanggungan inih jg kan?"..

Haha, bener juga, nggak usah terlalu streng, mundak gampang stress. Setel kendo tapi entuk akeh. Amin3.

Sent using a Nokia mobile phone

Sunday, October 30, 2011

Wisnu 'Inu' Nugroho

Kemuliaan adalah sesuatu yang tinggi. Karenanyalah, dia akan diterima oleh orang2 yang tidak memintanya.

Contohnya wisnu nugroho yang punya twitter @beginu. Dia menulis begitu banyak artikel karena dorongan hatinya, bukannya sebuah strategi pencapaian kemuliaan. Maka benar saja tulisannya bagus, bukunya laris.

Sent using a Nokia mobile phone

Monday, October 24, 2011

Elite Killer


Film yang bagus. Kisan seorang pembunuh bayaran yang tidak nyaman dengan bakatnya : membunuh. Sewaktu beraksi Danny sang pembunuh bayaran sempat bilang 'membunuh itu mudah, yg tidak mudah itu hidup sbg pembunuh'.

Di lain percakapan, ketika lawan bicara Danny memuji akan kehebatan dia dalam membunuh 'membunuh itu bagian hidupmu', si Danny menyangkal : 'membunuh cuma pekerjaan, bukan bagian dari hiduku'.

Dengan gelegar tata suara dan layar selebar kelirnya dalang Gito dikalikan 3 kali lipat, aksi berkelahi dan tembak2annya mantap sekali ini film. Karena ini bukan postingan resensi, tonton sendiri saja ya filmnya, dimana konspirasi penguasaan ladang minyak di Oman berpadu dengan dendam membunuh pasukan elite inggria : SAS dan tentu saja bumbu romantisme serta erotisme tak terhindarkan ada di film ini.

Aku mau berbagi insight yang aku dapat saja. ada beberapa, tapi satu saja dulu ya.... Bahwa, kalau kita mau jadi maestro di satu bidang, apapun itu, jadikan itu bagian dari hidupmu, bukan sekedar pekerjaan.

Dan alangkah ruginya orang yang bertahun2 menghabiskan waktunya untuk pekerjaannya, bukan untuk bagian hidupnya.

So, jadikan pekerjaanmu bukan pekerjaan, pekerjaanmu adalah bagian hidupmu.

Sent using a Nokia mobile phone

Sunday, October 23, 2011

Gusdur

Gunawan Mohammad di twitternya menyinggung tentang Gus Dur, Tokoh Idolanya Adhi Yuwana. Kata Gunawan Mohammad, Gusdur itu menjadikan iman bukan sebagai benteng yang membuat dia aman didalamnya, tetapi Gusdur menjadikan iman sebagai obor, bekal ia mantap berjalan keluar.

Menarik sekali, ketika banyak aliran-aliran fundamental memilih-milih ustadz karena takut aqidahnya tercemar, eh orang macam Gusdur jangankan lintas manhaj, bahkan lintas agamapun ia sambangi, dengan percaya darinya, yakin sekali bahwa imannya kuat, tidak tercemar.

Aku rasa ya memang begini ini cara membuktikan kuatnya iman. Lah, kapan kita tahu iman kita kuat kalau ada di dalam benteng manhaj terus.

Monday, October 10, 2011

Isma @Realisma

Terbiasa memilih dan mengerjakan yang sesuai kata hati. Mungkin sering berbeda denganmu. Bagiku pilihanku, bagimu pilihanmu. Let's share our perspective!

Ya, Isma, satu dari beberapa anak yang aku kenal pertama-tama ketika waktu itu belum ada fosma, waktu itu training ESQ baru reguler angkatan 5 di Purwokerto. Isma sekarang di Bandung, dia anaknya top abiz, dari dandanannya saja sudah keliatan dia membawa karakternya sendiri. belum lagi dari cara berpikirnya kalau kita ngobrol dengan dia.

Isma terbiasa memilih dan mengerjakan yang sesuai dengan kata hati, sekalipun seringkali berbeda dengan kebanyakan orang, tapi Isma tetap PD. Isma menggarap bisnis tas, dia seriusan, enggak setengah-setengah. Dan Isma, sekalipun anaknya berpunya, kemana-mana di Bandung naik angkot tetap dengan pedenya dan style khas nya.

Bagaimana dengan kita, ayo belajar dari isma, pede mengikuti kata hati sendiri. kecuali bagi kita yang buta aksara dan bahasa hati. Tidak Isma, dia bisa mengikuti kata hati, artinya dia peka dan bisa membaca hatinya sendiri. Sukses buat isma, ismatun, isma dwi fiani, real isma.


Friday, October 7, 2011

Bu Tuty Jatirogo

Sosok orang lapangan, bu tuty figur jogja yang cukup cablaka. Berbagi
ilmu tentang gula, petani organik, expor dan ubarampenya tanpa
ditutup2i dan kami tak perlu membayar royalti.Beliau orangnya
lowprofile, motoran jg cuma mbonceng. Menariknya, ketika kami bilang
"berarti bu e nggak nyari uang ya? Nyari balasan surga". eh, terus bu
tuti njawab "enggak mas, saya cuma nyari terkenal kok", dengan logat
dan bahasa jogjanya yang khas.Bu tuti adl profesor di bidangnya.
Seperti yang dikatakan Mr.Byon, pengusaha Jerman yang ketemu di
Jatirogo tadi, yg dibahasa Indonesiakan dia bilang, "kalian belajar ke
orang yang tepat", ya tepat, ya bu tuti itu.



Sent using a Nokia mobile phone

Saturday, October 1, 2011

Pa Alfin

Tadi sore ketemu Pa Alfin di karanglewas. Beliau dosenku di Akatel. Tidak banyak mata kuliahku yang diajarnya.

Satu pelajaran menarik ketika sidang makalah tugas akhir. Pa alfin memberikan pesan berharga yang masih terngiang sampai hari ini. Pesannya adalah agar aku belajar mempertanggungjawabkan apa yang aku tulis. Pesan ini sinkron dengan yang Ustadz Faturrohman ajarkan, kalau mengutip, sumbernya harus jelas. Kapan2 aku posting tersendiri tentang ustadz Faturrohman dan kekagumanku pada budaya literasi beliau.

Ya, bagi orang lain, sidang tugas akhir yang terpenting adalah vonis lulus dengan nilai bagus. Tapi buatku, sidang tugas akhir tak ubahnya scene2 menuntut ilmu lainnya, kali itu scane pelajaran mempertanggungjawabkan tulisan dengan memilih dan mencantumkan sumber tulisan dengan benar dan jelas.

011011
Sent from lapangan karangwangkal
pagelaran wayang dalang gito

Friday, September 30, 2011

Ust. Faturrohman Kamal

Mas Wiwid Brown Sugar

Exportir muda yang humble & Low Profil, senang dan beruntung sekali kemarin aku dan Hilmy berkesempatan main ke rumah beliau, mas Wiwid namanya. Kalau diceritakan disini mungkin enggak selesai 100 paragraf juga. Tapi intinya, mas Wiwid ini sangat menginspirasi.

Insprirasi apa? Banyak. Satu saja dulu. Kalau dikaitkan dengan kegagalan kita kemarin ikut Kompetisi di Ciptamedia dengan project kita "Majalah Pongkor", memang kita disuruh untuk berdiri di atas kaki sendiri. Persis seperti mas Wiwid teladankan. Dakwah by teladan dari mas Wiwid, dia bukan hanya enggak minta-minta bantuan Pemda atau manapun, bahkan usahanya dikenal Pemda pun dia ogah.

Satu mindframe yang 180 derajat berkebalikan dengan kita. Minta dikenal lewat kompetisi, mengais dana hibah. Wedew jan, betul-betul mencerminkan orang yang sama sekali tidak percaya diri dengan kakinya sendiri. Tentu ini bahan perenungan, untuk meningkatkan level fikriyah kita, untuk meng-oli akal kita, agar niat kita mengikuti kompetisi dan memperebutkan hibah ini dan itu selanjutnya lebih benar, ketimbang sekarang.

Tuesday, September 20, 2011

Bapake Karyanto

Gara-gara kunci pintu dicari enggak ketemu, setelah tidur-tiduran setengah jam lebih di Show Room mobil Satria Perkasa Purwokerto, aku & Hilmy memilih untuk mengeliarkan diri. Hingga sampailah kita di persawahan di Cilongok sana, sawahnya Bapaknya Karyanto.

Walaupun tidak pernah ikut training Parenting atau workshop ke-ayah-an, tidak juga ikut Training for Dai, tapi Bapaknya Karyanto sudah nampak sebagai orang yang menguasai ilmu kehidupan dengan mendalam. Banyak petuah menarik yang ia sampaikan dalam sanepa-sanepa alias akronim-akronim bahasa Jawa, misalnya "ngelmu" itu "angel gole tinemu", kemudian "mata" itu "ngemat barang sing apik" dan ada puluhan sanepa lainnya yang ndilalah kemarin kok tidak dicatat oleh kita.

Satu yang menarik adalah ungkapan beliau, yang intinya begini, ilmu-ilmu ini ya utamanya untuk anak saya, perkara ada luberan (meluap) baru untuk kalian-kalian semua, sambil menunjuk ke kita berdua. 

Inilah orang tua yang benar, tidak beda dengan Ibu dan Bapakku. Pertama-tama sebagai orang tua, kita mencari ilmu ya untuk diteruskan ke anak, pertama-tama ilmu kita ya dialokasikan ke anak, baru ke yang lain. Sangat kontras dengan fenomena orang tua modern di perkotaan. Mereka melenggang-langgang mencari nafkah sesuka hati, sementara anak dipasrahkan jor klowor ke sekolah, asal cari Paud yang mahal, asal cari TK yang bergengsi, SD, SMP, SMA yang favorit, kuliah di jurusan yang Lux dan sudah merasa bangga dengan semua itu.

Walhasil, ya begini-ini, jaman menjadi gonjang-ganjing rapuh tidak karuan. Anak hanya menjadi tempat sampah kurikulum yang sudah basi dan kadaluarsa dan beracun dan menyebabkan kanker syaraf. Sementara pendidikan karakter hanya mereka kenal dari para trainer dan motivator, padahal yang pertama, utama, penting dan mendasar, adalah menurunnya pendidikan karakter dari orang tua.

Untuk siapapun yang mau jadi orang tua, belajarlah dari Bapaknya Karyanto. Dedikasikan ilmumu pertama untuk anak, kalau masih ada lebihan, baru gunakan ilmu itu untuk mencari nafkah, untuk mengejar pangkat dan untuk menasehati anak tetangga.




Saturday, July 30, 2011

Reza

Reza alias Amet, hari ini terbang dari Soetta ke Jeddah dengan Pesawat Boeing terbarunya Batavia untuk Umroh Full Ramadhan. Tadi berkesempatan silaturahim ke rumahnya, walau cuma ketemu Ibunya, tak ada keluarga yang lain apalagi penceramah manapun datang, tapi naga-naganya dialog dengan ibunya Reza jadi sebuah tausiyah bekal Ramadhan yang sangat istimewa.

Dengan bola mata yang berair ibunya bercerita bagaimana Reza, teman SMAku itu beraktivitas selama ini "mau pulang jam 3 pagi pun mas, bruk itu tas, sholat tahajud dia", tutur sang Ibu. "Dan kalau sebelum berangkat, pasti sholat dhuha 2 rakaat 4 kali mas, enggak pernah lewat", lanjutnya.

Reza dapat hadiah Umroh dari Tuhan, seolah itu kalimat implisit yang diceritakan sang Ibu. Walau seliwar-seliwer capek, kurang tidur, seperti yang selama ini aku saksikan, tapi ya itulah salah satu hadiahnya. "Sholat2 itu mas kuncinya, kalau sholat wajib ya namanya juga wajib", Ibunya melanjutkan nasehatnya.

Dan satu lagi, Reza itu kalau sodaqoh walau aku nggak pernah lihat, tapi aku percaya, gila-gilaan dia, brutal sodaqohnya, kagak baen-baen lah bahasa betawinya. Salut sama temanku yang satu ini, walau jatuh bangun, berkeringat, letih, tapi percaya diri dan optimismenya nggak pernah berkurang, tetap semangat di segala kondisi, selalu saja bikin gebrakan-gebrakan, enggak cengeng!

Friday, July 29, 2011

Iswa


Ini bukan note balas budi, karena Iswa kemarin sudah mau menyempatkan datang nonton eksibisku di Usmas Ismail Hall dengan jalan kaki menenteng buntalan tas kresek yang entah isinya apa. Hm, kalau orang sepintas nebak, sepertinya si seepek pisang... *habisnya kumal juga si kreseknya.

This is pure, apa adanya. Iswa, beruntung orang yang mendapatkan dia. Orangnya polos, istilahnya mis Ary, topengnya enggak banyak. Dia di rumah, dia di kumpulan geng nya, atau dia di dalam masjid ya begitu-itu.
Terlihat dari cara dia tertawa, lepas-lepaas, nyaris tanpa beban.

Saat dia nganggur, fine-fine aja, tidak ada guratan kepikiran besar apa. Seperti nyantai saja dia. Nyantai yang sebenar-benar nyantai, bukan nyantai yang dibuat-buat demi politik pencitraan. Kalau lagi SMSan atau Fesbukan, diam autis tidak terkira, satu pesan lugas cablaka yang mengatakan "dont disturb me".

Aku tidak perlu banyak curiga bergaul dengan dia, lugas dan apa adanya.



Sunday, May 1, 2011

Rizka Pratiwi

Kalaulah nama istri orang dicatut di blog ini, betapa tidak sopannya kalau aku tidak mencantumkan nama sang suami. Ya, Mba Rizka ini istrinya Bang Luthfi a.k.a Gopil yang mau resepsi minggu besok atas pernikahan yang sudah diakadkan sejak Maret lalu.

Orangnya santun, ramah, baik, lah pokoknya beruntung sekali bang Gopil ini mendapatkan dia. Yang mau di share disini satu saja dari sekian kebaikan yang mungkin bisa dituliskan tentang sosoknya. Eit, tapi jangan berburuk sangka dulu, tidak ada maksud, perasaan dan hubungan apa-apa antara kami loh ya, dulu maupun sekarang.

Jadi kemarin, dengan penyampaian yang sangat cantik, tanda ke-inner beautyannya, aku dinasehatinya, yang intinya : lebih mudahlah untuk bisa dihubungi.

Betul memang, kadang susah ditelepon, susahnya lagi, karena ketika ditelepon pas tidak berkesempatan mengangkat, jangankan telepon balik, sms balikpun kadang enggak. Begitupun, aku kadang membalas SMS lama, padahal ya, tau sendiri lah bagaimana rasanya kalau SMS tidak dibalas-balas.

Telepon dan SMS memang kadang buatku mengganggu, walau persentasenya sedikit. Inipula yang jadi alasan aku tidak beli Blackberry, atau tidak terlalu open dengan fitur online di hapeku sekarang. Lah asal pulsa ada, lensa kamera jernih, memory cukup, headphone waras, cukuplah. Soal onlen-onlenan, cukup di laptop saja.

Kenapa cukup di laptop saja? Karena aku tidak membayangkan betapa terganggunya hidupku, tidak nyamannya hari-hariku kalau tiap detik harus mendengarkan cethang-cething update-an facebook, twitter, BBM, email.... wong ngewulani SMS telepon saja sekarang manggua ada 'sekretaris pribadi', mah dia aja yang ngurusin.

Dari keenggananku online 24 jam di benda genggam, aku jadi paham dan merasakan kenapa Pak Solihin, orang penting di SMA 2, dan banyak orang seperti dia lainnya bahkan beli hape pun tidak mau, dibelikanpun tidak dipakai.

Kesejatian komunikasi face to face tidak bisa ditandingi dengan hasil teknologi eksternal apapun, bahkan mesin hologram sekalipun.

Kembali ke Mba Rizka, terima kasih nasehatnya, mudah2an setelah ini bisa lebih mudah aku dihubungi orang, agar tidak ada orang yang terpersuliti karena aku.

Tuesday, April 26, 2011

Bacakilat


Buku yang bagus, penulisnya Agus Setiawan menyelipkan tiket seminar gratis di dalamnya. Entah, benar2 100% gratis atau seperti UTHB yang katanya gratis tapi wajib membeli paket seminarkit 350.000.

Obrolan dengan Mas Arif, Mas Harba dan Hilmy kemarin seolah menjadi prolog aku membaca buku ini. Tentang teta-healing, tentang berkembangnya teknologi internal yang dirintis oleh kalangan tasawuf modern dan tentang konspirasi islam trans-nasionalis, yang nampaknya murni tapi ternyata penuh dengan pendangkalan dan pembonsaian.

Loh, apa hubungannya buku tentang teknik membaca dengan semua itu? Ya, bagi orang yang hanya ingin mencari teknik, belajar tentang fiqh membaca dan antipati dengan dunia hakikat termasuk hakikat membaca, tentu semua itu tidak ada hubungannya. Tapi aku membaca buku ini dengan nawaitu bisa mengelaborasikan sejumlah makna yang ada di ujung tanduk akalku saat ini.

Menarik, Mas Arif menyampaikan nasehat dari Ki Nur kemarin : berhentilah belajar. Bagi orang saklek ini akan dimaknai tekstual dan refleknya pastilah penentangan, tapi tidak bagi orang seperti mas Arif dan karena Ki Nur tahu Mas Arif orang seperti apa makanya dia mau menasehatkan itu, maksudnya adalah mem-break sejenak asupan-asupan dari luar, untuk mengelaborasikan ilmu apa-apa yang sudah di dalam diri kita.

Ini adalah salah satu point bahasan di Buku Bacakilatnya Agus Setiawan, bahwa dari seluruh proses belajar 98-99%nya dilakukan oleh bawah sadar. Artinya alam sadar memang ada pada quota 1-2% saja, pantas saja kadang kita baru membaca sedikit, mengaji sedikit sudah merasa penuh, sudah merasa sesak penampungannya, itu terjadi karena kita mengabaikan fitur bawah sadar kita, jadinya mau dipaksa bagaimana juga alam sadar ya mampunya menyerap segitu.

Kalau masih bingung dan ingin tahu lebih lanjut maksudnya, silahkan baca sendiri bukunya, mantaplah. Ini pinjam punyaku juga boleh, tidak harus beli.

Hal menarik kedua di buku ini diantara sekian banyak hal menarik lainnya adalah bahwasannya proses belajar itu ada dua, pertama proses memformulasi apa-apa yang sudah ada di dalam diri, dan kedua proses menyerap informasi dari luar. Nah ini, inilah, kita informasi dilahap terus, tapi begitu sudah tertampung seperti gudang, berantakan tak pernah ditata dan tak pernah di adon, pantas saja belajar ribuan buku jutaan kali pengajian kok IQ masih segitu-segitu saja.

Coba, berapa banyak hal berharga di dalam diri yang terabaikan, tidak terelaborasi satu sama lain, padahal otak yang memiliki 1 triliun sel syaraf memiliki potensi keterhubungan satu sama lain antara dua sel saja adalah 2 pangkat 28 jalur hubungan, bhaayaangkaaaan itu....

Ini juga yang jadi bahan berpikirku, kalau orang-orang Islam fundamentalis saat ini takut menggunakan akalnya, hanya menampung informasi dari hadits2 shahih dan ulama pilihan, dan antara yang shahih2 itupun tidak dielaborasikan satu sama lain, hanya dimaknai sebatas texbook, betulkah itu artinya sudah kembali ke generasi salafus shalih?

Padahal siapakah generasi salafus shalih itu? Mereka adalah generasi abad ke 2-3 Hijriah. Siapakah generasi abad ke 2-3 hijriah itu? Mereka adalah penemu-penemu besar di hampir semua disiplin ilmu yang kemudian dijiplak dan dicuri barat.

Agus Setiawan menjelaskan, bahwa tidak mungkin akan ada penemuan, kalau tidak ada proses belajar yang mengelaborasikan ilmu-ilmu internal itu. Monggo direnungkan.... jangan merasa paling benar, tidak mungkin keliru.

Di buku itu juga menjelaskan sekilas tentang BELIEF, belief itu adalah keyakinan diri akan prinsip hidup. Aku baru tahu bahwa ternyata seseorang itu menyaring masukan informasi bukan berdasarkan benar dan salah, tapi berdasarkan mendukung atau menentang beliefnya. Nah loh, kalau beliefnya hasil doktrinasi dan cuci otak, lah gawaat...

Kalau sisi lemah buku ini, dua diantaranya : Pertama, teknik Bacakilat yang dijelaskan menggunakan proses hipnosis umum, nah inilah kelemahan penulis menurut pendapatku, penulis memukul rata bahwa sugestibilitas setiap orang sama, makanya katanya dasar penentu keberhasilan Bacakilat adalah pada sungguh-sungguh ingin bisa tidaknya menguasai teknik ini.

Dia lupa bahwa setiap orang itu memang bisa tersugesti masuk dalam kondisi hipnosis di gelombang alfa bahkan teta, tapi tidak semua orang caranya itu sama. Seperti aku ini, aku susah untuk mempan dihipnosis dengan cara umum kebanyakan hypnoterapi, alhamdulillah sedikit2 aku tahu caranya menghipnosis diri sendiri. Ada deh..

Jadi saranku, penulis belajar lagi tentang ragam teknik masuk ke zona hipnosis atau meditatif, jangan di babral rata pakai script hipnosis yang "lebih nyaman... lebih nyaman... dan setelah memejamkan mata 10X anda merasa lebih nyaman...", tidak semua mempan dengan script itu.

Kedua, sepertinya penulis bukan seorang muslim, sebetulnya materi yang disampaikan tidak lebih dari turunan Al Quran dan Hadits, seandainya Al Quran dan Hadits dilibatkan, makin mantap dan mendalamlah buku ini.

Tapi bagaimanapun, terima kasih mas Agus Setiawan, semoga Allah berkenan mempertemukan kita dalam seminar Bacakilat, kalau bisa si di Semarang apa Purwokerto dan harus benar2 gratis 100% ya.

Sunday, April 17, 2011

Emha Ainun Najib

Memahami Cak Nun, tidak bisa dengan satu atau dua pernyataannya. Menghakimi Cakn Nun, tidak bisa dengan sekali mengikuti pagelarannya. Saya mengenal Cak Nun pertama dari Slide, slide yang dibawakan oleh Ary Ginanjar.

Saya mengenal Cak Nun kedua dari Majalah, majalan yang dibawa oleh sahabat terbaik saya. Disitulah saya mengenal prinsip tauhid dan aqidah beliau. 

Saya mengenal Cak Nun ketiga dari buku-bukunya, ada "Kiai Bejo", ada "Demokrasi Laa Roibafih", ada apalagi itu lain-lainnya.

Selanjutnya saya mengenal Cak Nun dari pertemuan yang sering diistilahi orang sebagai Maiyahan, Mas Nanang seorang dari Komunitas Blogger Tidar Magelang yang menunjukkan adanya acara ini, lengkap dengan alamat dan rute untuk menujunya.

Cak Nun berbeda dengan kalangan Islam fundamental, yang mereka damai dalam tameng bernama amalan agama, sementara spiritualitasnya kosong. Tandanya apa? Tandanya katanya mereka alim, tapi merasa paling benar, tapi menganggap yang lain dan berbeda dengan mereka lebih rendah.

Cak Nun juga berbeda dengan Trainer, yang tampil memukau dengan menjual agama.

Cak Nun berbeda dengan kaum filosof, yang banyak berbicara kebajikan dan nilai-nilai, tapi praktinya low.

Cak Nun juga berbeda dengan kiai tarekatan dan sebangsanya, karena dia mengkritik adana formalisasi kelompok tasawuf  maupun kelompok tarekat.

Lah, tadi malam kok ada mahasiswa semester 6 fakultas agama islam universitas besar di jogya, ketua IMM pula yang naik panggung menggugat Cak Nun, padahal, menyebut nama acara malam itu apa, juga dia tidak tahu, mentang-mentang dibelakang ada spanduk bekas tulisannya Urip Malaekatan, dikiranya nama acaranya itu, padahal nama acaranya adalah Maiyahan.

Dan saya semakin mengenal Cak Nun, cara dia merespon begitu anggun, saya betul-betul tidak menyangka responnya akan seanggun itu, sehingga si mahasiswa penggugat itu saya yakin betul betul akan berpikir keras tanpa merasa bersalah yang depresif 7 hari t malam, tapi juga jamaah yang tersulut emosinya marah betulan oleh omongan si mahasiswa juga terakomodir. Dan pertanyaan tentang point-point yang dibilang oleh si mahasiswa dia benci dengan pemikiran Cak Nun, terjelaskan secara perlahan, dan suasana yang sempat agak tegang cair kembali atas dukungan penabuh Kiai Kanjeng dan itu tidak akan terjadi kalau Cak Nun salah memilih lagu.

Saya tidak mengkultuskan beliau, saya tidak merokok seperti beliau, saya tidak menisbatkan apa-apa beliau, Saya menulis ini cuma mau mengucapkan terima kasih, Cak Nun sudah menunjukkan saya jalan dan membukakan gerbang, untuk saya bisa menikmati keindahan dan sensasi-sensasi luar biasa dalam pergulatan pemikiran yang sering ia sebut "Kita bebas untuk menentukan batas, bukan bebas untuk mengumbar kebebasan", gerbang menuju Madinatul Ilmu.


PROFIL LENGKAPNYA :

Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil Kyai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti — yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di kawasan Bugisan, Patangpuluhan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain berkarya melalui panggung, ia juga menjadi kolumnis.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA. Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik KiaiKanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Karya Seni Teater

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ”Raja” Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng serta Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994).

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Reformasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Pluralisme

Cak Nun bersama KiaiKanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih, sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Sholatullah Salamullah”. Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam itu ia melakukan hal-hal yang menurut mayoritas masyarakat dan media sebagai hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.

*****

Nama: EMHA AINUN NADJIB
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama: Islam
Isteri: Novia S. Kolopaking
Anak:

* Sabrang Mowo Damar Panuluh
* Ainayya Al-Fatihah (alm)
* Aqiela Fadia Haya
* Jembar Tahta Aunillah
* Anayallah Rampak Mayesha

Pendidikan:

* SD, Jombang (1965)
* SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
* SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
* Pondok Pesantren Modern Gontor (tidak tamat)
* FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)

Karir:

* Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
* Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
* Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
* Pemimpin Grup musik KiaiKanjeng
* Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media

Karya Seni Teater:

* Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan “Raja” Soeharto)
* Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan)
* Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern)
* Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern)
* Santri-Santri Khidhir (1990, bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun Madiun)
* Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar)
* Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993)
* Perahu Retak (1992).

Buku Puisi:

* “M” Frustasi (1976)
* Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
* Sajak-Sajak Cinta (1978)
* Nyanyian Gelandangan (1982)
* 99 Untuk Tuhanku (1983)
* Suluk Pesisiran (1989)
* Lautan Jilbab (1989)
* Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990)
* Cahaya Maha Cahaya (1991)
* Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
* Abacadabra (1994)
* Syair Amaul Husna (1994)

Buku Essai:

* Dari Pojok Sejarah (1985)
* Sastra Yang Membebaskan (1985)
* Secangkir Kopi Jon Pakir (1990)
* Markesot Bertutur (1993)
* Markesot Bertutur Lagi (1994)
* Opini Plesetan (1996)
* Gerakan Punakawan (1994)
* Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996)
* Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994)
* Slilit Sang Kiai (1991)
* Sudrun Gugat (1994)
* Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995)
* Bola- Bola Kultural (1996)
* Budaya Tanding (1995)
* Titik Nadir Demokrasi (1995)
* Tuhanpun Berpuasa (1996)
* Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
* Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
* Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997)
* 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998)
* Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
* Kiai Kocar Kacir (1998)
* Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
* Keranjang Sampah (1998)
* Ikrar Husnul Khatimah (1999)
* Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000)
* Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000)
* Menelusuri Titik Keimanan (2001)
* Hikmah Puasa 1 dan 2 (2001)
* Segitiga Cinta (2001)
* Kitab Ketentraman (2001)
* Trilogi Kumpulan Puisi (2001)
* Tahajjud Cinta (2003)
* Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003)
* Folklore Madura (2005)
* Puasa ya Puasa (2005)
* Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara)
* Kafir Liberal (2006)
* Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)

- www.padhangmbulan.com - 

Bu Susneti

Kunjungan berikutnya adalah ke seorang warga teladan di Kedung Banteng, Bu Neti panggilan akrabnya. Sebenarnya sopannya si memanggilnya eyang, eyang-eyang tapi masih lincah berbisnis. Hebat euy...

Ada sejilid sendiri pesan-pesan moral dari hikmah perjalanan beliau dari zaman kecil nutur cengkeh, persis seperti yang saya lakukan saat masih SD dan sebelum SD. bedanya bu Neti ini berangkat ke kebon nutur cengkeh jam 2 dini hari, sedangkan kalau saya si siang-siang.

Mungkin karena pas masa kecil mirip2, nasib saya juga sukses seperti bu Neti kali ya nanti, hehe. Apalagi ketambahan saya bukan hanya nutur cengkeh, tapi juga methiki cengkeh, repek pohon alba, wit lompong dan sebagainya. Penuh materi edukasi sewaktu saya kecil, sekolah alam tanpa guru.

Dua saja dulu pesan besar nan istimewa dari bu Neti. Pertama : ora gadhang itu ada orang yang senang melihat kesuksesan kita, itulah yang dia alami berkali-kali, SMS istilahnya : Senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang.

Beliau sebagai pebisnis kerap sekali menjumpai orang lain yang iri, hasad, dengki ketika usahanya sedang berkembang. Tapi begitu ambruk, kebalikannya, puas ia ditertawai.

Sayapun begitu kok, dulu saya itu cemas kalau2 hilmy sukses duluang nggak ngajak saya, kalau andri lebih sejahtera mendahului saya dan sebagainya. Tapi belakangan ini alhadulillah sudah solat tobat, insaf dan insyaallah kalaupun kata2 saya ini dibuktikab beneranpun saya ikhlas kalau teman-teman saya sukses duluan, saya tidak iri, tidak hasad, tidak dengki, saya ikut bahagia saja.

Kedua : kalau kita didholimi atau dalam bahasa bisnis dirugikan, sudah ikhlaskan saja, kalau kita ikhlas, katanya ada dalil hadits yang menyebutkan bahwa yang mendholimi atau merugikan kita akan mendapat balasan kedholiman 10 kali lipat dari Allah.

Jadi, ketika dirugikan partner bisnis, tidak usah resah. Kalau ngorder tidak untung, ikhlas saja. Kalau ditinggalkan timnya, bombong saja, kalau yang tadinya amanah bersama sekarang diwariskan jadi amanah sendiri dan rugi rugi bae, nikmati saja, dan seterusnya. Ikhlas itu cuma 6 huruf, tapi perlu perjuangan untuk memilikinya, tapi kalau sudah memilikinya, ganjarannya ora baen-baen.

Oya, pelajaran tambahan dari bu Neti : The Power of mbagusi orang tua, terutama ibu. Dirinya merasa bisnisnya begitu dimudahkan, setelah menghajikan almarhumah ibunya dan senantiasa tidak pernah luput mengirim doa untuk sang ibu. Ini yang kurang dari saya, saya jarang sekali mbagusi orang tua.

Mas Gunawan

Tepatnya sebenarnya Pak, orang sudah punya istri. Mana kompak banget sama istrinya perihal ngurusi bisnis... haduuuh bikin ngiri saja ini pasangan.

Mas Gunawan adalah penguasa mainan anak, jadi dia ngedrop macam jepet2an begitu tapi ini lebih banyak mainan anaknya ke kampung-kampung. Salesnya ada puluhan, dan jumlah titik droppingnya ada belasan ribu. Dahsyaat, berapa coba itu omzetnya. Hitung sendiri lah ya.

Waktu itu saya berkesempatan main kesana, sebagai presiden tentu kunjungan harus didampingi bupati setempat, bupati kukuh. Jadi ceritanya adalah kunjungan ke warga teladan di wilayah ajibarang. Banyaaaak sekali pesan berharga tentang ilmu2 praktis dari kisah dia jatuh bangun usaha sampai suskses saat ini. Sepertinya capek jari ini kalau harus mengetikkan semua, kalau yang mau cerita lebih banyak, pas ketemu saya tanya saja langsung ya.

Satu saja dulu disini, adalah saat dia terlilit utang, bagaimana dia dimaki-maki orang, bahkan lebih dari itu, saya membayangkan bapaknya yang seorang tokoh masyarakat, seorang kiai disitu dibodoh-bodohi karena tingkah polah anaknya berbisnis dan gagal saat itu.

Saya membayangkan kalau itu terjadi pada bapak saya, bapak saya didatangi orang karena saya nggak sanggup bayar utang, bagaimana air muka dan emosi saya... mengerikan. Tapi, yang hebat saat itu, Mas Gunawan tidak berkecil hati, kegagalannya saat itu bukanlah alasan untuk mengubah konsep diri dari "saya pasti suskses" menjadi "ternyata saya cuma bisa gagal".

Tidak, tidak seperti itu. walhasil dia sukses saat ini. Perhatikanlah, kata al ustadz Yusuf Mansyur Rahimahullah, ketika kita dimaki, dijelek2i orang, ya sudah, terima, itu lagi episodenya, yang penting kita tidak sedang berpangku tangan, kita sedang berikhtiar dan berdoa hanya belum berbuah, itu sudah di dimensi Tuhan bukan di dimensi manusia lagi kalau sudah doa dan ikhtiar.

Dan perhatikanlah, sekali dua kali kita bikin salah, itu bukan pertanda kita ini orang jahat. Sekali dua kali meninju, itu bukan alasan untuk menyatakan diri kita sebagai petinju. Sekali, dua kali terperosok, itu bukan alasan untuk menghakimi diri bahwa kita ini orang apes.

Ilmu yang bermanfaat dari Mas Gunawan, semoga bertambah kebaikan untuk Anda sekeluarga

Monday, March 28, 2011

King's Speech

Ini film yang katanya mendapat 4 penghargaan Academy Award, bagus si emang. Bahwa perubahan itu evolusioner, 180 derajat dari sinetron Indonesia yang penuh mukjizat nggak jelas, di ending film inipun George VI Bapaknya Ratu Elizabeth yang saat itu baru jadi Raja Inggris Raya dan bicaranya gagap itu belum bisa bicara lancar, pidatonya masih terbata-bata... tapi di film ini diekspresikan betapa bahagianya dia sudah mengalami kemajuan tidak segagap dulu dalam pidato, pun begitu audience begitu mengapresiasi dia.

Kita itu makhluk kurang apresiasi, baik dari diri sendiri, maupun dari teman. Pun begitu, kita sebagai temanpun mungkin adalah teman yang pelit memberikan apersiasi bagi perubahan2 baik yang dilakukan oleh teman-teman kita, hanya karena perubahan itu terlihat masih sepele.

Adegan menarik salah satunya adalah ketika si dokter Logue dengan sembrononya duduk di kursi kehormatan di Wesminster Abay saat gladi resik pidato pelantikan Raja George VI.

Haha, dan di film ini jadi bisa lihat betapa cantiknya Margaret dan Elizabeth ketika masih anak-anak dulu.

Dapat kosakata baru dari film ini : "Your Majesty"

Terima kasih untuk Pak Sutradara dan mba-mba kasir 21. Film ini mengubah hidupku, walau sedikit dan mungkin tidak ada orang lain yang melihat perubahan itu, tapi aku akan senyum puas sumringah sambil melambaikan tangan dengan puas sepertihalnya George VI.

Monday, January 24, 2011

Ranah 3 Warna



Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup terus digelung nestapa.

Seorang teman baik meng-sms tadi, dia dapat hadiah tas cantik karena jadi pembeli pertama ini novel. Weh, selamat, selamat.

Lupakan tas cantik, lupakan jadi pembeli-pembeli pertama, anggaran belum ada, ada juga untuk alokasi penyauran utang dan beberapa trip terdekat yang lebih urgent.

***

Kondangan, sebenarnya moment ini kurang menyenangkan bagiku, disamping suguhan pertanyaan wajib "kapan nyusul?" bak sebuah provokasi anak kecil yang ogah disunat padahal rekan sebayanya sudah disunat, bukan pertanyaan itu, tapi serentetan [enyebutan daftar nama teman-teman yang sudah kerja di ini kerja di ono dan seterusnya.

Dan saya tidak kerja di mana-mana, dan saya tidak punya status apa-apa. Oh no, seperti terciutkan keyakinan ini, "apakah saya menempuh jalan yang salah?", jalan yang benar adalah luluslah dengan cepat dan segeralah bekerja, karena tempat bekerjamulah identitas sejatimu.

Tapi kata novel ini, man shabara zhafira. Bukan cuma butuh kesungguhan untuk berhasil, tapi juga butuh kesabaran. Sekali lagi pesannya adalah persisten. Lebih baik miskin tapi persisten, daripada kaya tapi mencla-mencle tak berkarakter. Kebahagiaan bukan terletak pada seberapa kaya, tapi pada.... hm, pada apa ya...

Ragu-Ragu



Mengerja sambil memejamkan mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada tanganNya yang telah menulis takdir kita. (Salim A. Fillah)

Jawaban pertanyaan di kurun waktu belakangan ini terjawab di salah satu bagian dari buku ini. Keraguan bukanlah pengendor semangat, keraguan semata sinyal untuk tetap kita persisten. Jangan berhenti, biar mereka PNS disana sini, biar mereka bergaji segana-segini, jalan masing-masing adalah hak pilihan masing-masing.

Dirimu tidak adakan DIA sia-siakan, karena kamu telah membuktikan kesetiaanmu pada visi, dalam terjalnya alur misi.

Haha, maaf belum resensi dulu. Belum selesai bacanya.