Thursday, January 12, 2012

Rini "Padang Ilalang"

Beberapa waktu lalu Rini pesan kartu nama, karena desainnya terserah, aku bikinkan saja. Pikirku, perempuan suka pink, jadinya aku buat desain pinky-pinky... wuaha, aduh, ternyata Rini tidak suka pink. Tapi bagaimana lagi, besoknya harus dipakai itu kartu nama, jadinya ya mau tidak mau tetap saja diambil dan dipakai itu kartu nama.

Rini sekarang concern di Padang Ilalang, sebuah komunitas pendidikan informal di Notog, sebuah daerah di sebelah selatan Purwokerto. Dalam beberapa hal aku punya kesamaan dengan Rini. Ya, meskipun dia anak Fisip, tapi tidak ideologis-ideologis amat.

Dia seorang executor. Action, action dan action. Aku yakin dia punya mimpi, walau aku tidak tahu persis apa mimpinya. Tapi dia bukan orang yang menghabiskan banyak harinya untuk membayangkan mimpi-mimpinya. Dia banyak bertindak, fight, survive & terus belajar.

Beberapa kali aku ikut komunitas yang saat ini ia kelola bersama sahabatnya si Ade anak asli notog. Menarik sekali, aku jadi ingat moment-moment Pramuka. Ya, Pramuka sebenarnya dulu digagas untuk seperti itu, bagaimana belajar tentang air dengan memainkannya, bagaimana belajar tentang sepeda dengan bersepeda bersama dan seterusnya. Sayang disayang pramuka terjebak dalam formalisasi, sehingga semua benci pramuka. Dan Padang Ilalang serta banyak komunitas serupa akhirnya membangun ruang baru untuk menggantikan peran Pramuka itu.

Lepas dari semua itu, memang Rini belum bisa membuat komunitas level nasional. Tapi, dari keistiqomahan, konsistensi, ke-fight-an dia untuk survive dalam apapun kondisi komunitas adalah patut diacungi jempol, disodori cendol dan disundul rame-rame.

Mari kita lihat 5-10 tahun lagi Rini akan jadi seperti apa, aku sudah bisa menebak how success her tomorrow atas sikap mentalnya hari ini.

Tuesday, January 10, 2012

Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa


Buku ini aku lahap habis di atas Logawa, dari jam setengah 10 berangkat di Wonokromo, sampai jam setengah 8 malam masuk stasiun Purwokerto. 2012 memang mahal setiap harinya, tidak boleh itu disia-sia mentang-mentang itu adalah spare waktu untuk perjalanan pulang.

Pak Tjokro adalah Bapaknya para pendiri Bangsa. Sekalipun begitu, dia dan murid2nya, dan antar murid2nya berbeda ideologi, berbeda prinsip. Pak Tjokro atau Haji Oemar Syahid Tjokroaminoto adalah sosok yang egaliter, dia menanggalkan gelar kebangsawanannya. Ya kalau jaman sekarang mungkin, dia tidak menggunakan ijasahnya.

Meskipun begitu, dia mengajak masyarakat Pribumi untuk memakai pakaian internasional, agar merasa setara dengan Belanda, tidak inferior. Ada beberapa point menarik di buku ini, diantaranya :

1. Saya jadi tahu, masalah yang terjadi di zaman ini, ternyata tidak beda2 jauh dengan penjajahan di zaman Belanda dulu. Bangsa kita diberi makan, hanya karena kita adalah sapi perahan. Kekayaaan kita dicuri edan-edanan berjuta gulden dan kita cuma disisai segobang yang untuk makan saja tidak cukup.

2. Soekarno tidak pernah sekolah public speaking, Hamka rela berangkat dari Sumatra datang ke Jogja hanya untuk menjadi santri Pak Tjokro. Oh, ternyata belajar itu bukan soal fasilitas, bukan soal kelas, bukan soal formalisasi apapun. Belajar adalah soal tekad.

Banyak lagi lainnya, kapan-kapan kalau ketemu kita ngobrol saja.

Kalau soal penulisan, hm, buku ini bagus. Kurangnya, hm, penggambaran dan pengimajinasiannya kurang...jadi kurang bisa menikmati alur kehidupan Tjokro secara utuh, dari segi bahasa lebih seperti buku catatan sejarah. Tapi kalau dibilang buku catatan sejarah, ya kurang jangkep si data, tokoh dan peristiwanya..

Jadi bisa dibilang buku ini nanggung, mendalam tidak, asyik dinikmati alurnya juga kurang. Visualisasi foto juga sedikit, pengadopsian ruh-ruh perjuangan Tjokro untuk direfleksikan di zaman sekarang juga tidak ada. Ya, namanya juga buku populer. kan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Tapi, over all, buku ini bagus. recomended dibaca.