Monday, January 24, 2011
Ranah 3 Warna
Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup terus digelung nestapa.
Seorang teman baik meng-sms tadi, dia dapat hadiah tas cantik karena jadi pembeli pertama ini novel. Weh, selamat, selamat.
Lupakan tas cantik, lupakan jadi pembeli-pembeli pertama, anggaran belum ada, ada juga untuk alokasi penyauran utang dan beberapa trip terdekat yang lebih urgent.
***
Kondangan, sebenarnya moment ini kurang menyenangkan bagiku, disamping suguhan pertanyaan wajib "kapan nyusul?" bak sebuah provokasi anak kecil yang ogah disunat padahal rekan sebayanya sudah disunat, bukan pertanyaan itu, tapi serentetan [enyebutan daftar nama teman-teman yang sudah kerja di ini kerja di ono dan seterusnya.
Dan saya tidak kerja di mana-mana, dan saya tidak punya status apa-apa. Oh no, seperti terciutkan keyakinan ini, "apakah saya menempuh jalan yang salah?", jalan yang benar adalah luluslah dengan cepat dan segeralah bekerja, karena tempat bekerjamulah identitas sejatimu.
Tapi kata novel ini, man shabara zhafira. Bukan cuma butuh kesungguhan untuk berhasil, tapi juga butuh kesabaran. Sekali lagi pesannya adalah persisten. Lebih baik miskin tapi persisten, daripada kaya tapi mencla-mencle tak berkarakter. Kebahagiaan bukan terletak pada seberapa kaya, tapi pada.... hm, pada apa ya...
Ragu-Ragu
Mengerja sambil memejamkan mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada tanganNya yang telah menulis takdir kita. (Salim A. Fillah)
Jawaban pertanyaan di kurun waktu belakangan ini terjawab di salah satu bagian dari buku ini. Keraguan bukanlah pengendor semangat, keraguan semata sinyal untuk tetap kita persisten. Jangan berhenti, biar mereka PNS disana sini, biar mereka bergaji segana-segini, jalan masing-masing adalah hak pilihan masing-masing.
Dirimu tidak adakan DIA sia-siakan, karena kamu telah membuktikan kesetiaanmu pada visi, dalam terjalnya alur misi.
Haha, maaf belum resensi dulu. Belum selesai bacanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)