Tuesday, April 26, 2011

Bacakilat


Buku yang bagus, penulisnya Agus Setiawan menyelipkan tiket seminar gratis di dalamnya. Entah, benar2 100% gratis atau seperti UTHB yang katanya gratis tapi wajib membeli paket seminarkit 350.000.

Obrolan dengan Mas Arif, Mas Harba dan Hilmy kemarin seolah menjadi prolog aku membaca buku ini. Tentang teta-healing, tentang berkembangnya teknologi internal yang dirintis oleh kalangan tasawuf modern dan tentang konspirasi islam trans-nasionalis, yang nampaknya murni tapi ternyata penuh dengan pendangkalan dan pembonsaian.

Loh, apa hubungannya buku tentang teknik membaca dengan semua itu? Ya, bagi orang yang hanya ingin mencari teknik, belajar tentang fiqh membaca dan antipati dengan dunia hakikat termasuk hakikat membaca, tentu semua itu tidak ada hubungannya. Tapi aku membaca buku ini dengan nawaitu bisa mengelaborasikan sejumlah makna yang ada di ujung tanduk akalku saat ini.

Menarik, Mas Arif menyampaikan nasehat dari Ki Nur kemarin : berhentilah belajar. Bagi orang saklek ini akan dimaknai tekstual dan refleknya pastilah penentangan, tapi tidak bagi orang seperti mas Arif dan karena Ki Nur tahu Mas Arif orang seperti apa makanya dia mau menasehatkan itu, maksudnya adalah mem-break sejenak asupan-asupan dari luar, untuk mengelaborasikan ilmu apa-apa yang sudah di dalam diri kita.

Ini adalah salah satu point bahasan di Buku Bacakilatnya Agus Setiawan, bahwa dari seluruh proses belajar 98-99%nya dilakukan oleh bawah sadar. Artinya alam sadar memang ada pada quota 1-2% saja, pantas saja kadang kita baru membaca sedikit, mengaji sedikit sudah merasa penuh, sudah merasa sesak penampungannya, itu terjadi karena kita mengabaikan fitur bawah sadar kita, jadinya mau dipaksa bagaimana juga alam sadar ya mampunya menyerap segitu.

Kalau masih bingung dan ingin tahu lebih lanjut maksudnya, silahkan baca sendiri bukunya, mantaplah. Ini pinjam punyaku juga boleh, tidak harus beli.

Hal menarik kedua di buku ini diantara sekian banyak hal menarik lainnya adalah bahwasannya proses belajar itu ada dua, pertama proses memformulasi apa-apa yang sudah ada di dalam diri, dan kedua proses menyerap informasi dari luar. Nah ini, inilah, kita informasi dilahap terus, tapi begitu sudah tertampung seperti gudang, berantakan tak pernah ditata dan tak pernah di adon, pantas saja belajar ribuan buku jutaan kali pengajian kok IQ masih segitu-segitu saja.

Coba, berapa banyak hal berharga di dalam diri yang terabaikan, tidak terelaborasi satu sama lain, padahal otak yang memiliki 1 triliun sel syaraf memiliki potensi keterhubungan satu sama lain antara dua sel saja adalah 2 pangkat 28 jalur hubungan, bhaayaangkaaaan itu....

Ini juga yang jadi bahan berpikirku, kalau orang-orang Islam fundamentalis saat ini takut menggunakan akalnya, hanya menampung informasi dari hadits2 shahih dan ulama pilihan, dan antara yang shahih2 itupun tidak dielaborasikan satu sama lain, hanya dimaknai sebatas texbook, betulkah itu artinya sudah kembali ke generasi salafus shalih?

Padahal siapakah generasi salafus shalih itu? Mereka adalah generasi abad ke 2-3 Hijriah. Siapakah generasi abad ke 2-3 hijriah itu? Mereka adalah penemu-penemu besar di hampir semua disiplin ilmu yang kemudian dijiplak dan dicuri barat.

Agus Setiawan menjelaskan, bahwa tidak mungkin akan ada penemuan, kalau tidak ada proses belajar yang mengelaborasikan ilmu-ilmu internal itu. Monggo direnungkan.... jangan merasa paling benar, tidak mungkin keliru.

Di buku itu juga menjelaskan sekilas tentang BELIEF, belief itu adalah keyakinan diri akan prinsip hidup. Aku baru tahu bahwa ternyata seseorang itu menyaring masukan informasi bukan berdasarkan benar dan salah, tapi berdasarkan mendukung atau menentang beliefnya. Nah loh, kalau beliefnya hasil doktrinasi dan cuci otak, lah gawaat...

Kalau sisi lemah buku ini, dua diantaranya : Pertama, teknik Bacakilat yang dijelaskan menggunakan proses hipnosis umum, nah inilah kelemahan penulis menurut pendapatku, penulis memukul rata bahwa sugestibilitas setiap orang sama, makanya katanya dasar penentu keberhasilan Bacakilat adalah pada sungguh-sungguh ingin bisa tidaknya menguasai teknik ini.

Dia lupa bahwa setiap orang itu memang bisa tersugesti masuk dalam kondisi hipnosis di gelombang alfa bahkan teta, tapi tidak semua orang caranya itu sama. Seperti aku ini, aku susah untuk mempan dihipnosis dengan cara umum kebanyakan hypnoterapi, alhamdulillah sedikit2 aku tahu caranya menghipnosis diri sendiri. Ada deh..

Jadi saranku, penulis belajar lagi tentang ragam teknik masuk ke zona hipnosis atau meditatif, jangan di babral rata pakai script hipnosis yang "lebih nyaman... lebih nyaman... dan setelah memejamkan mata 10X anda merasa lebih nyaman...", tidak semua mempan dengan script itu.

Kedua, sepertinya penulis bukan seorang muslim, sebetulnya materi yang disampaikan tidak lebih dari turunan Al Quran dan Hadits, seandainya Al Quran dan Hadits dilibatkan, makin mantap dan mendalamlah buku ini.

Tapi bagaimanapun, terima kasih mas Agus Setiawan, semoga Allah berkenan mempertemukan kita dalam seminar Bacakilat, kalau bisa si di Semarang apa Purwokerto dan harus benar2 gratis 100% ya.

Sunday, April 17, 2011

Emha Ainun Najib

Memahami Cak Nun, tidak bisa dengan satu atau dua pernyataannya. Menghakimi Cakn Nun, tidak bisa dengan sekali mengikuti pagelarannya. Saya mengenal Cak Nun pertama dari Slide, slide yang dibawakan oleh Ary Ginanjar.

Saya mengenal Cak Nun kedua dari Majalah, majalan yang dibawa oleh sahabat terbaik saya. Disitulah saya mengenal prinsip tauhid dan aqidah beliau. 

Saya mengenal Cak Nun ketiga dari buku-bukunya, ada "Kiai Bejo", ada "Demokrasi Laa Roibafih", ada apalagi itu lain-lainnya.

Selanjutnya saya mengenal Cak Nun dari pertemuan yang sering diistilahi orang sebagai Maiyahan, Mas Nanang seorang dari Komunitas Blogger Tidar Magelang yang menunjukkan adanya acara ini, lengkap dengan alamat dan rute untuk menujunya.

Cak Nun berbeda dengan kalangan Islam fundamental, yang mereka damai dalam tameng bernama amalan agama, sementara spiritualitasnya kosong. Tandanya apa? Tandanya katanya mereka alim, tapi merasa paling benar, tapi menganggap yang lain dan berbeda dengan mereka lebih rendah.

Cak Nun juga berbeda dengan Trainer, yang tampil memukau dengan menjual agama.

Cak Nun berbeda dengan kaum filosof, yang banyak berbicara kebajikan dan nilai-nilai, tapi praktinya low.

Cak Nun juga berbeda dengan kiai tarekatan dan sebangsanya, karena dia mengkritik adana formalisasi kelompok tasawuf  maupun kelompok tarekat.

Lah, tadi malam kok ada mahasiswa semester 6 fakultas agama islam universitas besar di jogya, ketua IMM pula yang naik panggung menggugat Cak Nun, padahal, menyebut nama acara malam itu apa, juga dia tidak tahu, mentang-mentang dibelakang ada spanduk bekas tulisannya Urip Malaekatan, dikiranya nama acaranya itu, padahal nama acaranya adalah Maiyahan.

Dan saya semakin mengenal Cak Nun, cara dia merespon begitu anggun, saya betul-betul tidak menyangka responnya akan seanggun itu, sehingga si mahasiswa penggugat itu saya yakin betul betul akan berpikir keras tanpa merasa bersalah yang depresif 7 hari t malam, tapi juga jamaah yang tersulut emosinya marah betulan oleh omongan si mahasiswa juga terakomodir. Dan pertanyaan tentang point-point yang dibilang oleh si mahasiswa dia benci dengan pemikiran Cak Nun, terjelaskan secara perlahan, dan suasana yang sempat agak tegang cair kembali atas dukungan penabuh Kiai Kanjeng dan itu tidak akan terjadi kalau Cak Nun salah memilih lagu.

Saya tidak mengkultuskan beliau, saya tidak merokok seperti beliau, saya tidak menisbatkan apa-apa beliau, Saya menulis ini cuma mau mengucapkan terima kasih, Cak Nun sudah menunjukkan saya jalan dan membukakan gerbang, untuk saya bisa menikmati keindahan dan sensasi-sensasi luar biasa dalam pergulatan pemikiran yang sering ia sebut "Kita bebas untuk menentukan batas, bukan bebas untuk mengumbar kebebasan", gerbang menuju Madinatul Ilmu.


PROFIL LENGKAPNYA :

Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil Kyai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti — yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di kawasan Bugisan, Patangpuluhan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain berkarya melalui panggung, ia juga menjadi kolumnis.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA. Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik KiaiKanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Karya Seni Teater

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ”Raja” Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng serta Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994).

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Reformasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Pluralisme

Cak Nun bersama KiaiKanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih, sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Sholatullah Salamullah”. Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam itu ia melakukan hal-hal yang menurut mayoritas masyarakat dan media sebagai hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.

*****

Nama: EMHA AINUN NADJIB
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama: Islam
Isteri: Novia S. Kolopaking
Anak:

* Sabrang Mowo Damar Panuluh
* Ainayya Al-Fatihah (alm)
* Aqiela Fadia Haya
* Jembar Tahta Aunillah
* Anayallah Rampak Mayesha

Pendidikan:

* SD, Jombang (1965)
* SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
* SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
* Pondok Pesantren Modern Gontor (tidak tamat)
* FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)

Karir:

* Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
* Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
* Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
* Pemimpin Grup musik KiaiKanjeng
* Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media

Karya Seni Teater:

* Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan “Raja” Soeharto)
* Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan)
* Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern)
* Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern)
* Santri-Santri Khidhir (1990, bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun Madiun)
* Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar)
* Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993)
* Perahu Retak (1992).

Buku Puisi:

* “M” Frustasi (1976)
* Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
* Sajak-Sajak Cinta (1978)
* Nyanyian Gelandangan (1982)
* 99 Untuk Tuhanku (1983)
* Suluk Pesisiran (1989)
* Lautan Jilbab (1989)
* Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990)
* Cahaya Maha Cahaya (1991)
* Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
* Abacadabra (1994)
* Syair Amaul Husna (1994)

Buku Essai:

* Dari Pojok Sejarah (1985)
* Sastra Yang Membebaskan (1985)
* Secangkir Kopi Jon Pakir (1990)
* Markesot Bertutur (1993)
* Markesot Bertutur Lagi (1994)
* Opini Plesetan (1996)
* Gerakan Punakawan (1994)
* Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996)
* Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994)
* Slilit Sang Kiai (1991)
* Sudrun Gugat (1994)
* Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995)
* Bola- Bola Kultural (1996)
* Budaya Tanding (1995)
* Titik Nadir Demokrasi (1995)
* Tuhanpun Berpuasa (1996)
* Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
* Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
* Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997)
* 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998)
* Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
* Kiai Kocar Kacir (1998)
* Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
* Keranjang Sampah (1998)
* Ikrar Husnul Khatimah (1999)
* Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000)
* Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000)
* Menelusuri Titik Keimanan (2001)
* Hikmah Puasa 1 dan 2 (2001)
* Segitiga Cinta (2001)
* Kitab Ketentraman (2001)
* Trilogi Kumpulan Puisi (2001)
* Tahajjud Cinta (2003)
* Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003)
* Folklore Madura (2005)
* Puasa ya Puasa (2005)
* Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara)
* Kafir Liberal (2006)
* Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)

- www.padhangmbulan.com - 

Bu Susneti

Kunjungan berikutnya adalah ke seorang warga teladan di Kedung Banteng, Bu Neti panggilan akrabnya. Sebenarnya sopannya si memanggilnya eyang, eyang-eyang tapi masih lincah berbisnis. Hebat euy...

Ada sejilid sendiri pesan-pesan moral dari hikmah perjalanan beliau dari zaman kecil nutur cengkeh, persis seperti yang saya lakukan saat masih SD dan sebelum SD. bedanya bu Neti ini berangkat ke kebon nutur cengkeh jam 2 dini hari, sedangkan kalau saya si siang-siang.

Mungkin karena pas masa kecil mirip2, nasib saya juga sukses seperti bu Neti kali ya nanti, hehe. Apalagi ketambahan saya bukan hanya nutur cengkeh, tapi juga methiki cengkeh, repek pohon alba, wit lompong dan sebagainya. Penuh materi edukasi sewaktu saya kecil, sekolah alam tanpa guru.

Dua saja dulu pesan besar nan istimewa dari bu Neti. Pertama : ora gadhang itu ada orang yang senang melihat kesuksesan kita, itulah yang dia alami berkali-kali, SMS istilahnya : Senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang.

Beliau sebagai pebisnis kerap sekali menjumpai orang lain yang iri, hasad, dengki ketika usahanya sedang berkembang. Tapi begitu ambruk, kebalikannya, puas ia ditertawai.

Sayapun begitu kok, dulu saya itu cemas kalau2 hilmy sukses duluang nggak ngajak saya, kalau andri lebih sejahtera mendahului saya dan sebagainya. Tapi belakangan ini alhadulillah sudah solat tobat, insaf dan insyaallah kalaupun kata2 saya ini dibuktikab beneranpun saya ikhlas kalau teman-teman saya sukses duluan, saya tidak iri, tidak hasad, tidak dengki, saya ikut bahagia saja.

Kedua : kalau kita didholimi atau dalam bahasa bisnis dirugikan, sudah ikhlaskan saja, kalau kita ikhlas, katanya ada dalil hadits yang menyebutkan bahwa yang mendholimi atau merugikan kita akan mendapat balasan kedholiman 10 kali lipat dari Allah.

Jadi, ketika dirugikan partner bisnis, tidak usah resah. Kalau ngorder tidak untung, ikhlas saja. Kalau ditinggalkan timnya, bombong saja, kalau yang tadinya amanah bersama sekarang diwariskan jadi amanah sendiri dan rugi rugi bae, nikmati saja, dan seterusnya. Ikhlas itu cuma 6 huruf, tapi perlu perjuangan untuk memilikinya, tapi kalau sudah memilikinya, ganjarannya ora baen-baen.

Oya, pelajaran tambahan dari bu Neti : The Power of mbagusi orang tua, terutama ibu. Dirinya merasa bisnisnya begitu dimudahkan, setelah menghajikan almarhumah ibunya dan senantiasa tidak pernah luput mengirim doa untuk sang ibu. Ini yang kurang dari saya, saya jarang sekali mbagusi orang tua.

Mas Gunawan

Tepatnya sebenarnya Pak, orang sudah punya istri. Mana kompak banget sama istrinya perihal ngurusi bisnis... haduuuh bikin ngiri saja ini pasangan.

Mas Gunawan adalah penguasa mainan anak, jadi dia ngedrop macam jepet2an begitu tapi ini lebih banyak mainan anaknya ke kampung-kampung. Salesnya ada puluhan, dan jumlah titik droppingnya ada belasan ribu. Dahsyaat, berapa coba itu omzetnya. Hitung sendiri lah ya.

Waktu itu saya berkesempatan main kesana, sebagai presiden tentu kunjungan harus didampingi bupati setempat, bupati kukuh. Jadi ceritanya adalah kunjungan ke warga teladan di wilayah ajibarang. Banyaaaak sekali pesan berharga tentang ilmu2 praktis dari kisah dia jatuh bangun usaha sampai suskses saat ini. Sepertinya capek jari ini kalau harus mengetikkan semua, kalau yang mau cerita lebih banyak, pas ketemu saya tanya saja langsung ya.

Satu saja dulu disini, adalah saat dia terlilit utang, bagaimana dia dimaki-maki orang, bahkan lebih dari itu, saya membayangkan bapaknya yang seorang tokoh masyarakat, seorang kiai disitu dibodoh-bodohi karena tingkah polah anaknya berbisnis dan gagal saat itu.

Saya membayangkan kalau itu terjadi pada bapak saya, bapak saya didatangi orang karena saya nggak sanggup bayar utang, bagaimana air muka dan emosi saya... mengerikan. Tapi, yang hebat saat itu, Mas Gunawan tidak berkecil hati, kegagalannya saat itu bukanlah alasan untuk mengubah konsep diri dari "saya pasti suskses" menjadi "ternyata saya cuma bisa gagal".

Tidak, tidak seperti itu. walhasil dia sukses saat ini. Perhatikanlah, kata al ustadz Yusuf Mansyur Rahimahullah, ketika kita dimaki, dijelek2i orang, ya sudah, terima, itu lagi episodenya, yang penting kita tidak sedang berpangku tangan, kita sedang berikhtiar dan berdoa hanya belum berbuah, itu sudah di dimensi Tuhan bukan di dimensi manusia lagi kalau sudah doa dan ikhtiar.

Dan perhatikanlah, sekali dua kali kita bikin salah, itu bukan pertanda kita ini orang jahat. Sekali dua kali meninju, itu bukan alasan untuk menyatakan diri kita sebagai petinju. Sekali, dua kali terperosok, itu bukan alasan untuk menghakimi diri bahwa kita ini orang apes.

Ilmu yang bermanfaat dari Mas Gunawan, semoga bertambah kebaikan untuk Anda sekeluarga