Tuesday, November 3, 2009

Planet of The Appes

Kemarin habis nonton Planet of The Appes. Menarik, sangat imajinatif ASLI, sudah pastilah si sutradara bukan produk pendidikan Indonesia yang kalau nggambar semuanya nggambar gunung & yang kalau pag guru/dosen lagi ngobyek dikasih tugaas yang banyak (mana tulis tangan pula).

Bagi yang belum nonton, film ini mengisahkan tentang seorang astronot yang tedampat di sebuah planet dengan dunia dan waktu yang berselisih ribuan tahun dengan dirinya, dimana di planet itu manusia menjadi budak para kera. Bayangkan saja, ada gerobak yang narik manusia dan yang nyambukin kera (hm, bukankah di bumi sekarang juga seperti itu ya, monyet2 tukang korup berseragam dinas mencambuki pedagang kaki lima yang rajin ibadah dengan pedasnya, mengenaskan).

Salah satu bagian yang menarik di film itu adalah ketika sang astronot menyuarakan ajakan kepada manusia-manusia primitif itu untuk melawan bala tentara kera. Yah, karena saking lamanya, turun temurun tidak ada sejarah manusia bisa sejajar dengan kera di planet itu, maka si manusiapun semua gentar, takut untuk melawan. sampai sang astronot bilang, "hey, percayalah, sejarah kalian para manusia memiliki prestasi yang gemilang, yang menakjubkan", apalagi untuk sekedar melawan kera. Tapi tetap semua terdiam.

Yah, begini, bukan? kondisi kebanyakan kita saat ini. Karena kungkungan tradisi yang belasan tahun lamanya, sehingga tak ada siswa yang berani berkutik ketika dosen perlu dikritisi bahkan ditegur atau disalahkan. Begitu juga memprihatinkan, anak-anak tumbuh dewasa, tanpa pernah memiliki kesempatan untuk mengembangkan karakter pribadinya.

Disekolah dicekokin teori ini dan itu, di kampus dituang air pengetahuan yang nantinya juga tak tahu seberapa persen itu berguna, eh begitu wisuda masyarakat menjustisenya dengan begitu kejam, "kamu bukannya cari duit, malah...".

Akhirnya melamar kerja sekenanya, betah tidak betah diterima seolah merupakan takdir yang takbisa lekang darinya. Beberapa yang tidak betah berpindah ini dan itu, dengan seribu satu alasan, "disitu ilmuku nggak kepakai", "disitu tenagaku diforsir" sampai "disitu gajinya kurang".

Dan merekapun menua dengan satu perenungan yang tak pernha berubah, "sebetulnya apa si yang aku kerja dalam kehidupan ini?". Hm, akhir hayat yang mengenaskan bagi orang-orang yang seperti itu, semoga kita tidak termasuk.

Yah, pergilah dari dunia kita, menjelajahlah ke angkasa luas. Tak punya pesawat ulang-alik? Tidak perlu pesawat apapun untuk menerbangkan otak kita dalam galaksi imajinasi yang tidak ada batas dan sekatnya.

Kenapa kita harus menerbangkan pikiran kita? Agar kita tahu, tradisi-tradisi mana yang harus kita pegang dan tradisi-tradisi mana yang harus tidak kita percayai. Tanpa itu, kita hanya menjadi pecundang yang minta dihargai, yang tak pernah betah bekerja dimanapun, kecuali : dibetah-betahin.

Salah satu tradisi yang musti kita lepas dari kungkungannya adalah tradisi menakar usaha kita dengan hasil, tradisi membarter tenaga dan waktu kita dengan imbalan. Kita masih muda, masih punya kesempatan begitu luas untuk menempa karakter, tidak pantaslah kita "ngarani" seberapa kita harus dibayar, kalau kita sendiri belum paham apa sebetulnya potensi yang kita miliki, belum terbentuk karakter kita.

No comments:

Post a Comment