Friday, September 30, 2011
Mas Wiwid Brown Sugar
Exportir muda yang humble & Low Profil, senang dan beruntung sekali kemarin aku dan Hilmy berkesempatan main ke rumah beliau, mas Wiwid namanya. Kalau diceritakan disini mungkin enggak selesai 100 paragraf juga. Tapi intinya, mas Wiwid ini sangat menginspirasi.
Insprirasi apa? Banyak. Satu saja dulu. Kalau dikaitkan dengan kegagalan kita kemarin ikut Kompetisi di Ciptamedia dengan project kita "Majalah Pongkor", memang kita disuruh untuk berdiri di atas kaki sendiri. Persis seperti mas Wiwid teladankan. Dakwah by teladan dari mas Wiwid, dia bukan hanya enggak minta-minta bantuan Pemda atau manapun, bahkan usahanya dikenal Pemda pun dia ogah.
Satu mindframe yang 180 derajat berkebalikan dengan kita. Minta dikenal lewat kompetisi, mengais dana hibah. Wedew jan, betul-betul mencerminkan orang yang sama sekali tidak percaya diri dengan kakinya sendiri. Tentu ini bahan perenungan, untuk meningkatkan level fikriyah kita, untuk meng-oli akal kita, agar niat kita mengikuti kompetisi dan memperebutkan hibah ini dan itu selanjutnya lebih benar, ketimbang sekarang.
Insprirasi apa? Banyak. Satu saja dulu. Kalau dikaitkan dengan kegagalan kita kemarin ikut Kompetisi di Ciptamedia dengan project kita "Majalah Pongkor", memang kita disuruh untuk berdiri di atas kaki sendiri. Persis seperti mas Wiwid teladankan. Dakwah by teladan dari mas Wiwid, dia bukan hanya enggak minta-minta bantuan Pemda atau manapun, bahkan usahanya dikenal Pemda pun dia ogah.
Satu mindframe yang 180 derajat berkebalikan dengan kita. Minta dikenal lewat kompetisi, mengais dana hibah. Wedew jan, betul-betul mencerminkan orang yang sama sekali tidak percaya diri dengan kakinya sendiri. Tentu ini bahan perenungan, untuk meningkatkan level fikriyah kita, untuk meng-oli akal kita, agar niat kita mengikuti kompetisi dan memperebutkan hibah ini dan itu selanjutnya lebih benar, ketimbang sekarang.
Tuesday, September 20, 2011
Bapake Karyanto
Gara-gara kunci pintu dicari enggak ketemu, setelah tidur-tiduran setengah jam lebih di Show Room mobil Satria Perkasa Purwokerto, aku & Hilmy memilih untuk mengeliarkan diri. Hingga sampailah kita di persawahan di Cilongok sana, sawahnya Bapaknya Karyanto.
Walaupun tidak pernah ikut training Parenting atau workshop ke-ayah-an, tidak juga ikut Training for Dai, tapi Bapaknya Karyanto sudah nampak sebagai orang yang menguasai ilmu kehidupan dengan mendalam. Banyak petuah menarik yang ia sampaikan dalam sanepa-sanepa alias akronim-akronim bahasa Jawa, misalnya "ngelmu" itu "angel gole tinemu", kemudian "mata" itu "ngemat barang sing apik" dan ada puluhan sanepa lainnya yang ndilalah kemarin kok tidak dicatat oleh kita.
Satu yang menarik adalah ungkapan beliau, yang intinya begini, ilmu-ilmu ini ya utamanya untuk anak saya, perkara ada luberan (meluap) baru untuk kalian-kalian semua, sambil menunjuk ke kita berdua.
Inilah orang tua yang benar, tidak beda dengan Ibu dan Bapakku. Pertama-tama sebagai orang tua, kita mencari ilmu ya untuk diteruskan ke anak, pertama-tama ilmu kita ya dialokasikan ke anak, baru ke yang lain. Sangat kontras dengan fenomena orang tua modern di perkotaan. Mereka melenggang-langgang mencari nafkah sesuka hati, sementara anak dipasrahkan jor klowor ke sekolah, asal cari Paud yang mahal, asal cari TK yang bergengsi, SD, SMP, SMA yang favorit, kuliah di jurusan yang Lux dan sudah merasa bangga dengan semua itu.
Walhasil, ya begini-ini, jaman menjadi gonjang-ganjing rapuh tidak karuan. Anak hanya menjadi tempat sampah kurikulum yang sudah basi dan kadaluarsa dan beracun dan menyebabkan kanker syaraf. Sementara pendidikan karakter hanya mereka kenal dari para trainer dan motivator, padahal yang pertama, utama, penting dan mendasar, adalah menurunnya pendidikan karakter dari orang tua.
Untuk siapapun yang mau jadi orang tua, belajarlah dari Bapaknya Karyanto. Dedikasikan ilmumu pertama untuk anak, kalau masih ada lebihan, baru gunakan ilmu itu untuk mencari nafkah, untuk mengejar pangkat dan untuk menasehati anak tetangga.
Walaupun tidak pernah ikut training Parenting atau workshop ke-ayah-an, tidak juga ikut Training for Dai, tapi Bapaknya Karyanto sudah nampak sebagai orang yang menguasai ilmu kehidupan dengan mendalam. Banyak petuah menarik yang ia sampaikan dalam sanepa-sanepa alias akronim-akronim bahasa Jawa, misalnya "ngelmu" itu "angel gole tinemu", kemudian "mata" itu "ngemat barang sing apik" dan ada puluhan sanepa lainnya yang ndilalah kemarin kok tidak dicatat oleh kita.
Satu yang menarik adalah ungkapan beliau, yang intinya begini, ilmu-ilmu ini ya utamanya untuk anak saya, perkara ada luberan (meluap) baru untuk kalian-kalian semua, sambil menunjuk ke kita berdua.
Inilah orang tua yang benar, tidak beda dengan Ibu dan Bapakku. Pertama-tama sebagai orang tua, kita mencari ilmu ya untuk diteruskan ke anak, pertama-tama ilmu kita ya dialokasikan ke anak, baru ke yang lain. Sangat kontras dengan fenomena orang tua modern di perkotaan. Mereka melenggang-langgang mencari nafkah sesuka hati, sementara anak dipasrahkan jor klowor ke sekolah, asal cari Paud yang mahal, asal cari TK yang bergengsi, SD, SMP, SMA yang favorit, kuliah di jurusan yang Lux dan sudah merasa bangga dengan semua itu.
Walhasil, ya begini-ini, jaman menjadi gonjang-ganjing rapuh tidak karuan. Anak hanya menjadi tempat sampah kurikulum yang sudah basi dan kadaluarsa dan beracun dan menyebabkan kanker syaraf. Sementara pendidikan karakter hanya mereka kenal dari para trainer dan motivator, padahal yang pertama, utama, penting dan mendasar, adalah menurunnya pendidikan karakter dari orang tua.
Untuk siapapun yang mau jadi orang tua, belajarlah dari Bapaknya Karyanto. Dedikasikan ilmumu pertama untuk anak, kalau masih ada lebihan, baru gunakan ilmu itu untuk mencari nafkah, untuk mengejar pangkat dan untuk menasehati anak tetangga.
Subscribe to:
Posts (Atom)