Takjub ketika pertama kali aku mendapat cerita dari temanku tentang Sekolah Alamnya Neno Warisman di Depok. Wah iyah, keren sekali, 180 derajat berbeda dengan model sekolah-sekolah konvensional. Kemudian wawasanku bertambah luas lagi setelah Februari kemarin di Bandung bertemu, ngobrol panjang lebar dengan pendiri seribu lebih sekolah alam di Indonesia, Lendo Novo namanya. Orang 'bodoh' yang mengundurkan diri dari jabatan tingginya di kementerian dengan potensi income take home pay hingga ratusan juta rupiah perbulan, memilih mengabdi kepada masyarakat dengan mendirikan sekolah alam dan kemana-mana naik angkutan umum.
Sekolah memang sudah harus didekonstruksi, agar fungsinya kembali benar menjadi tempat belajar, bukan seperti sekarang ini, tempat mengeruk uang orang tua/wali murid. Waduh susah tau, mengubah sesuatu yang sudah begitu melembaga, secara nasional pula. Kurikulum saja diubah susah apalagi sampai konsep sekolah diubah. Ya sudah, jangan terlalu ekstrim, kita curi-curi dikit saja model pendidikan ala sekolah alam ini disela-sela waktu anak atau adik kita belajar formal di sekolahan. Mungkin sedikit, tapi bisa membangun jiwa si anak, itu lumayan.
Ngomong-ngomong soal sekolah alam, aku juga semasa kecil menghabiskan waktuku di sekolah alam loh. Wah dimana itu? di tempatnya Bu Neno atau di sekolahnya Pa Novo? Haha, jawabannya tidak di dua-duanya. Aku sekolah di sekolah alamku sendiri. Di depan rumahku dulu ada pohon jambu air. Aku belajar kurikulum memanjat pohon ya disitu. Di pucuk pohon ada benalu merambat, aku belajar simbiosis parasitisme disitu.
Di desaku ada sebuah sungai besar, ya paling besar setidaknya di desaku, walau belum ada apa-apanya dibanding sungai serayu, apalagi mahakam. Hehe. Kali (Jawa:Sungai) Bancak aku menyebutnya, aku menyusuri membawa 'seser' dan pancing ikan. Tujuannya bukan untuk mendapatkan ikan sebetulnya, tapi untuk mengeksplore the nature. Sampai aku tidak terasa, wah sampai di hulu sungai saudara-saudara... Aku jamin tidak banyak diantara anak-anak seusiaku saat SD waktu itu yang menyusuri kali sampai ke mata airnya itu.
Di sungai aku belajar petualangan di dunia nyata. Dan di video game aku belajar petualangan semu. Karena dulu barang langka, aku termasuk yang begitu kagum dan keranjingan, sampai-sampai harus pergi ke RW sebelah untuk sekedar bermain video game dengan berganti-gantian, nunggunya 2 jam, dapat jatah mainnya paling 5-10 menit. Halah...
Dari kecil sampai kelas 6 SD duniaku adalah dunia alam, bermain petak umpet di alam, menerbangkan layang-layang di kebun yang ada tebingnya, membuat rumah-rumahan 'gubuk', membuat mobil-mobilan dari sandal bekas, menunggui orang membuat sumur sambil mengumpulkan tanah liat untuk dibuat bentuk-bentuk tertentu, sampai membuat tugu air kencing.
Pada tau tidak cara membuatnya? Bagi yang tidak tahu ini aku ajari, pertama, buatlah gundukan dari debu lebih kurang setinggi 30 cm, lalu kencingilah puncak gundukan itu, lalu sapulah dengan tangan bagian bawah gundukan yang tidak basah dikencingi tadi, lalu jadi deh sebuah monumen. Hehe.. Masih banyak permainan lainnya, ada Sunda Manda, bermain Janur, bermain di danau, kasti, sepakbola (ini yang jarang nih, makanya sampai sekarang enggak bisa), dll.
Kelihatannya biasa saja, rasanya biasa saja, baru tahu sekarang betapa semua aktivitas itu adalah aktivitas yang luar biasa. Emha Ainun Najib pernah berpesan "pendidikan yang pertama-tama diberikan kepada anak adalah motorik, dan yang kedua adalah disiplin atau menahan diri."
Aktivitas motorik, melibatkan indra gerak kita, itu manfaatnya panjang kedepan. Salah kaprah orang sekarang, bukannya anak dibiarkan bermain-main mengasah motorik mereka, tapi malah dikursuskan membaca, menulis padahal 5 tahun saja belum genap. Aduh, mau jadi seperti apa struktur syaraf di otaknya nanti.
Orang zaman dulu memang lebih fitrah ketimbang sekarang, oleh karenanya anak setelah beranjak dewasa dipaksa untuk 'nyapu latar' (Jawa:menyapu halaman), 'rikat pedangan' (Jawa:membereskan dapur), dan sebagainya aktivitas yang melibatkan alat gerak sehingga mengaktifkan syaraf motorik anak. Nah anak jaman sekarang semua dilayani, maka setelah besar benar saja deh tidak bisa apa-apa, orang struktur syaraf otaknya enggak karuan.
Maka sekolah alam benar-benar menjadi solusi. Tidak harus dalam bentuk lembaga sekolah alam, akrabkanlah anak-anak dengan alam, biarkan alat gerak mereka berfungsi, percayalah itu berpengaruh baik ke perkembangan syaraf motorik mereka dan mereka akan menjadi anak unggulan, ya minimal seperti aku ini (narsis). haha
No comments:
Post a Comment