Inspirasi entrepreneurshipku yang pertama adalah ibu dan bapakku. Walaupun keduanya guru, sewaktu kecil kami buka warung di rumah. Maklum, gaji kecil ditambah letak rumah yang strategis didepan sekolah persis, sayang tidak dimanfaatkan untuk jualan.
Kesibukan dirumah waktu itu adalah membungkusi 'kacang kapri', kacang bulat kecil warna hijau yang krezz kalau digigit, dibeli ibuku dari pasar dalam ukuran ball, lalu dibungkus kecil-kecil di-seal manual dengan lilin atau teplok. Waktu itu belum ada listrik. Listrik baru masuk ke desaku secara resmi tahun 1996, aku kelas 4 SD. Rumahku yang mendapat kehormatan menjadi rumah pertama yang dipasangi meteran oleh PLN waktu itu.
Wrapp.... pindah ke masa kuliah, akhirnya aku menemukan aktivitas men-seal manual lagi. Kali ini bukan kacang kapri, tapi snack bantal keju. Sungguh mahasiswa yang aneh, bukannya belajar script C++, malah sepulang kuliah menuju pasar Bogor, beli snack dalam ukuran ball lalu dirumah dikemas kecil-kecil. Ini gara-gara perkenalanku dengan Zainal Abidin dan Supardi Lee, rektor dan pengajar di Institut Kemandirian milik Dompet Dhuafa Republika. Waktu itu Institut Kemandirian membuka kelas di Bogor, kelas kewirausahaan, aku, azis, danang dan satu orang dari warga asli bogor, kami berempat menjadi siswa angkatan pertama disana.
Selesai pelatihan inilah aku pertama kalinya berani mendeklarasikan diri sebagai seorang entrerpeneur. Loh, sudah kadung deklarasi jadi entrepreneur, tapi tidak punya usaha, lantas bagaimana donk? Jadilah aku dan azis ditambah ada datang kawan dari Jawa, Criyo, kami bertiga jualan snack. Dijajakkan di pinggir jalan dan di drop ke warung.
Ah sepertinya berat yah jualan snack, ganti ah, kali ini uang jatah bulanan dipakai untuk membuat gantungan kunci dan stiker. Hahai, apa yang terjadi? Ternyata tidak mudah juga menjual, rasa malas ini masih melekat kuat di kaki untuk menjajakan, akibatnya krisis ekonomi pribadi begitu hebat. Sehari-hari makan nasi rice cooker masak sendiri dengan lauk gorengan only.
Pendidikan entrepreneurship di Institut Kemandirian buatku bagus, kalaulah aku belum pandai jualan setelah lulus, itu adalah persoalan pribadiku dengan diriku sendiri. Di Institut Kemandirian tidak banyak teori. Praktek yang berkesan buatku ada dua, pertama ketika aku datang ke kampus di Lenteng Agung, dompet dan semua uang disita. Aku cuma dibekali air mineral gelas untuk dijajakkan di stasiun, setelah setor dompet bisa diambil. Kalau belum setor hasil jualan dompet tidak bisa diambil. Ah, dasar masih lugu, di stasiun aku tidak berani menjajakkan, walhasil akhirnya aku naik kereta ekonomi tanpa beli tiket dan jalan kaki dari stasiun bogor sampai kost karena benar-benar tidak punya ongkos.
Kedua, ketika aku minta peluang bisnis ke Pak Rektor, aku terkejut, ternyata aku cuma dikasih peluang jualan gorengan gerobak. Yang bener aje.... bukan cuma itu, aku diwajibkan mau belajar gorengan di Cibubur. Hedewh, berat diongkoslah, PP 16.000 kalau 10x pertemuan sudah 160.000 itu baru transport. Hanya untuk belajar ke tukang gerobak gorengan. Aku memilih mengundurkan diri.
Sampai akhirnya ketika aku sudah di Purwokerto aku bertemu dengan pedagang gorengan, yang omzetnya jutaan perhari. Aku berdecak kagum dan baru menyadari. Ternyata peluang yang dulu ditawarkan pak Rektor, yang aku sepelekan, bisa beromzet besar juga, apalagi kalau buka cabang.
Berani berproses, itu yang diajarkan di Institut Kemandirian. Tidak bergantung pada modal, tapi bergantung pada kegigihan kita dalam berusaha. Kerena sekali itu.
No comments:
Post a Comment