Monday, December 15, 2008
Bung Karno
Beliau orang yang visioner, jauh-jauh tahun sebelum Indonesia diproklamasikan, beliau sudah berani berkoar-koar di hadapan dunia akan komitmen INDONESIA MERDEKA. Beliau sudah membaca, bahwa ada celah pada iklim dunia saat itu untuk kemerdekaan bangsa-bangsa macam Indonesia.
Diinternalisasikan terus semangat itu ke pejuang-pejuang tanah air, hingga kemerdekaan diproklamasikan, dan perjuangan belum berakhir. Upaya mempertahankan tak kalah beratnya, begitu seterusnya hingga 1965, stabilitas dalam negeri labil, isu Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta merebak, komandan pengawalan membawa Bung Karno kesana kemari demi keamanan.
"Pa, kita keluar negeri saja", begitu tawaran di dekat Bandara Halim. Bung Karno tidak mau, "Ada kapal2 besar di Selat Malaka siap menyerang kita, apa jadinya kalau saya tinggalkan, Indonesia tidak boleh tenggelam, sepanjang hidup saya perjuangkan bangsa ini, biar saya saja yang tenggelam", kata Bung Karno. Miris...
Lebih miris lagi, ketika tampuk kekuasaan sudah berpindah, Bung Karno dibawa ke Wisma Yaso dengan alasan untuk penyembuhan. Padahal beliau masuk dalam keadaan segar bugar, 2 tahun dipingit, kondisinya semakin menurun, tak boleh membaca, mendengarkan radio, menulis, bahkan bertemu sanak famili.
Sering menangis di pundak dokter pribadinya yang setia, sebuah perlakuan yang bukan hanya tidak manusiawi, tapi benar-benar kedurhakaan akut. Bukan hanya visioner, beliau juga sabar, ketulusannya merintis Ibu Pertiwi diuji dengan tidak mendapat balasan yang semestinya dihari tuanya. Inilah bangsa yang Durhaka.
Saya dapat cerita ini dari buku bercover hitam "Siapa sebenarnya Soeharto?"
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment