Sunday, December 28, 2008

John C Mather dan George F Smoot


Hadiah Nobel Fisika 2006 ini jatuh kepada dua astrofisikawan eksperimen berkebangsaan Amerika, John C Mather dan George F Smoot, untuk jasa mereka dalam mengukur secara akurat radiasi latar belakang kosmik (cosmic microwave background atau CMB).

John C Mather adalah peneliti senior pada Divisi Sains Astrofisika NASA, berusia 60 tahun, sedangkan George F Smoot adalah profesor fisika di Universitas California Berkeley. Penemuan spektakuler mereka dipublikasikan pada jurnal Astrophysics tahun 1990 dan 1992.

Penemuan yang dilakukan melalui satelit COBE ini semakin mengukuhkan teori Big Bang yang menyatakan bahwa alam semesta berawal dari suatu ledakan.

Cukup mencengangkan jika kita tahu bahwa CMB ditemukan secara tidak sengaja oleh dua fisikawan instrumen. Adalah Arno Penzias dan Robert Wilson yang berjasa menemukan CMB pertama kali pada tahun 1964 dalam bentuk derau (noise) radio yang pada saat itu sangat membingungkan mereka.

Kedua ilmuwan tersebut bekerja di laboratorium Bell di New Jersey dengan sebuah teleskop radio ultrasensitif (saat itu) yang dirancang untuk menerima sinyal dari satelit. Teleskop tadi menangkap derau yang berasal jauh dari luar angkasa dan, yang paling membingungkan kedua ilmuwan, sinyal tersebut tidak bergantung pada arah fokus teleskop serta tidak bergantung pada waktu pengamatan.

Pengukuran yang mereka lakukan mengantar pada kesimpulan bahwa derau tersebut adalah radiasi gelombang mikro dengan panjang gelombang 7 sentimeter yang merupakan fosil ledakan Big Bang. Untuk penemuan yang sangat menghebohkan ini, Penzias dan Wilson dianugerahi hadiah Nobel pada tahun 1978.

Dari sifat isotropiknya wajar jika diyakini bahwa radiasi CMB berasal dari tempat yang sangat jauh di jagat raya. Namun, bagaimana para ilmuwan dapat yakin bahwa radiasi ini merupakan fosil dari ledakan mahadahsyat di masa lampau saat alam semesta tercipta?

Lebih dari 20 tahun sebelum penemuan CMB, George Gamow, seorang profesor fisika pada George Washington University di Washington DC, bersama dengan mahasiswanya mengusulkan teori penciptaan alam semesta melalui ledakan sangat dahsyat yang mereka sebut teori Big Bang.

Dua mahasiswanya, Ralph Alpher dan Robert Herman, pada tahun 1949 memperkirakan bahwa temperatur rata-rata alam semesta saat ini sebagai konsekuensi dari ledakan besar di masa lalu serta berkembangnya alam semesta pada kisaran 5 derajat Kelvin (minus 268 derajat Celsius).

Sayangnya, mereka tidak sempat mengusulkan eksperimen dengan menggunakan teleskop radio.

Menariknya, hubungan antara derau statik gelombang mikro dan temperatur alam semesta merupakan kisah sukses fisika selain mekanika kuantum dan relativistik.

Di dalam termodinamika, salah satu cabang fisika yang banyak membahas hubungan antara temperatur dan sifat suatu zat, dikenal hukum Wien yang menyatakan bahwa untuk distribusi radiasi benda hitam perkalian antara panjang gelombang radiasi berintensitas maksimum dan temperaturnya ekuivalen dengan bilangan 0,3.

Pengukuran yang dilakukan oleh Penzias dan Wilson tidak persis tepat pada puncak distribusi. Namun, karena kegigihan dan keyakinan para ilmuwan, pengukuran-pengukuran yang dilakukan selama lebih dari dua dekade, hingga tahun 1991 dengan menggunakan satelit COBE, berhasil mengonfirmasi distribusi radiasi benda hitam dari CMB dengan akurasi yang sangat mengesankan (lihat gambar 1). Dari distribusi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa temperatur alam semesta saat ini, lebih dari 10 miliar tahun setelah Big Bang, adalah 2,726 Kelvin.


Superakurat

Satelit COBE yang menghasilkan pengukuran superakurat, seperti terlihat pada gambar 1, sebenarnya dirancang juga untuk eksperimen lain, yaitu pengukuran variasi temperatur CMB pada arah-arah berbeda.

Secara teoretis, variasi yang sangat kecil pun dapat memberi petunjuk bagaimana galaksi dan bintang-bintang mulai terbentuk. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa hanya di tempat-tempat tertentu di jagat raya materi menggumpal dan, dengan bantuan gravitasi, melahirkan galaksi.

Penjelasan teoretis proses ini menyangkut masalah fluktuasi mekanika kuantum yang terjadi sesaat setelah jagat raya mulai berkembang. Saat satelit COBE dirancang, diperkirakan variasi temperatur yang diperlukan untuk menjelaskan hal ini berkisar seperseribu derajat Celsius.

Akan tetapi, beberapa saat kemudian para ilmuwan menemukan "materi gelap" (dark matter) yang juga dapat memengaruhi variasi temperatur pada orde seperseratus ribu derajat.

Secara teoretis, materi gelap ini merupakan agen penting pada proses akumulasi materi, dengan kata lain untuk menjawab pertanyaan dasar tadi instrumen pada COBE harus dirancang ulang lebih presisi.

Meski hasil yang lebih akurat diberikan oleh pengukuran berikutnya yang dinamakan Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP), penelitian yang dipimpin oleh George F Smoot berhasil membuktikan adanya variasi temperatur bahkan pada orde puluhan mikro Kelvin (lihat gambar 2).

Selain berhasil mengukuhkan teori Big Bang, kedua hasil pengukuran pemenang Nobel Fisika tahun ini memperlihatkan bahwa kosmologi bukan lagi merupakan spekulasi filosopis seperti sebelumnya.

Untuk pertama kalinya perhitungan-perhitungan kosmologi dapat dibandingkan dengan data eksperimen yang sangat akurat. Kosmologi modern disebut-sebut sebagai "precision science".

Hasil yang diperoleh COBE dan WMAP juga mengantarkan kita ke informasi tentang bentuk dasar jagat raya yang disebut Euclidian, atau, dalam bahasa awam, intuisi kita yang menyatakan bahwa dua garis lurus paralel tidak akan saling memotong tampaknya juga berlaku untuk skala jagat raya.

Terry Mart
Fisikawan UI; Saat Ini Menjadi Peneliti Tamu di Institut fuer Kernphysik, Universitaet Mainz, Jerman

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/12/iptek/3021422.htm

No comments:

Post a Comment