Memahami Cak Nun, tidak bisa dengan satu atau dua pernyataannya. Menghakimi Cakn Nun, tidak bisa dengan sekali mengikuti pagelarannya. Saya mengenal Cak Nun pertama dari Slide, slide yang dibawakan oleh Ary Ginanjar.
Saya mengenal Cak Nun kedua dari Majalah, majalan yang dibawa oleh sahabat terbaik saya. Disitulah saya mengenal prinsip tauhid dan aqidah beliau.
Saya mengenal Cak Nun ketiga dari buku-bukunya, ada "Kiai Bejo", ada "Demokrasi Laa Roibafih", ada apalagi itu lain-lainnya.
Selanjutnya saya mengenal Cak Nun dari pertemuan yang sering diistilahi orang sebagai Maiyahan, Mas Nanang seorang dari Komunitas Blogger Tidar Magelang yang menunjukkan adanya acara ini, lengkap dengan alamat dan rute untuk menujunya.
Cak Nun berbeda dengan kalangan Islam fundamental, yang mereka damai dalam tameng bernama amalan agama, sementara spiritualitasnya kosong. Tandanya apa? Tandanya katanya mereka alim, tapi merasa paling benar, tapi menganggap yang lain dan berbeda dengan mereka lebih rendah.
Cak Nun juga berbeda dengan Trainer, yang tampil memukau dengan menjual agama.
Cak Nun berbeda dengan kaum filosof, yang banyak berbicara kebajikan dan nilai-nilai, tapi praktinya
low.
Cak Nun juga berbeda dengan kiai tarekatan dan sebangsanya, karena dia mengkritik adana formalisasi kelompok tasawuf
maupun kelompok tarekat.
Lah, tadi malam kok ada mahasiswa semester 6 fakultas agama islam universitas besar di jogya, ketua IMM pula yang naik panggung menggugat Cak Nun, padahal, menyebut nama acara malam itu apa, juga dia tidak tahu, mentang-mentang dibelakang ada spanduk bekas tulisannya Urip Malaekatan, dikiranya nama acaranya itu, padahal nama acaranya adalah Maiyahan.
Dan saya semakin mengenal Cak Nun, cara dia merespon begitu anggun, saya betul-betul tidak menyangka responnya akan seanggun itu, sehingga si mahasiswa penggugat itu saya yakin betul betul akan berpikir keras tanpa merasa bersalah yang depresif 7 hari t malam, tapi juga jamaah yang tersulut emosinya marah betulan oleh omongan si mahasiswa juga terakomodir. Dan pertanyaan tentang point-point yang dibilang oleh si mahasiswa dia benci dengan pemikiran Cak Nun, terjelaskan secara perlahan, dan suasana yang sempat agak tegang cair kembali atas dukungan penabuh Kiai Kanjeng dan itu tidak akan terjadi kalau Cak Nun salah memilih lagu.
Saya tidak mengkultuskan beliau, saya tidak merokok seperti beliau, saya tidak menisbatkan apa-apa beliau, Saya menulis ini cuma mau mengucapkan terima kasih, Cak Nun sudah menunjukkan saya jalan dan membukakan gerbang, untuk saya bisa menikmati keindahan dan sensasi-sensasi luar biasa dalam pergulatan pemikiran yang sering ia sebut "Kita bebas untuk menentukan batas, bukan bebas untuk mengumbar kebebasan", gerbang menuju Madinatul Ilmu.
PROFIL LENGKAPNYA :
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.
Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil Kyai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.
Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti — yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di kawasan Bugisan, Patangpuluhan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain berkarya melalui panggung, ia juga menjadi kolumnis.
Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA. Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.
Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.
Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik KiaiKanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.
Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Karya Seni Teater
Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ”Raja” Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng serta Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.
Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994).
Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Reformasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Pluralisme
Cak Nun bersama KiaiKanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih, sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Sholatullah Salamullah”. Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.
Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam itu ia melakukan hal-hal yang menurut mayoritas masyarakat dan media sebagai hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.
Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
*****
Nama: EMHA AINUN NADJIB
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama: Islam
Isteri: Novia S. Kolopaking
Anak:
* Sabrang Mowo Damar Panuluh
* Ainayya Al-Fatihah (alm)
* Aqiela Fadia Haya
* Jembar Tahta Aunillah
* Anayallah Rampak Mayesha
Pendidikan:
* SD, Jombang (1965)
* SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
* SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
* Pondok Pesantren Modern Gontor (tidak tamat)
* FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)
Karir:
* Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
* Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
* Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
* Pemimpin Grup musik KiaiKanjeng
* Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media
Karya Seni Teater:
* Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan “Raja” Soeharto)
* Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan)
* Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern)
* Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern)
* Santri-Santri Khidhir (1990, bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun Madiun)
* Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar)
* Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993)
* Perahu Retak (1992).
Buku Puisi:
* “M” Frustasi (1976)
* Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
* Sajak-Sajak Cinta (1978)
* Nyanyian Gelandangan (1982)
* 99 Untuk Tuhanku (1983)
* Suluk Pesisiran (1989)
* Lautan Jilbab (1989)
* Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990)
* Cahaya Maha Cahaya (1991)
* Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
* Abacadabra (1994)
* Syair Amaul Husna (1994)
Buku Essai:
* Dari Pojok Sejarah (1985)
* Sastra Yang Membebaskan (1985)
* Secangkir Kopi Jon Pakir (1990)
* Markesot Bertutur (1993)
* Markesot Bertutur Lagi (1994)
* Opini Plesetan (1996)
* Gerakan Punakawan (1994)
* Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996)
* Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994)
* Slilit Sang Kiai (1991)
* Sudrun Gugat (1994)
* Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995)
* Bola- Bola Kultural (1996)
* Budaya Tanding (1995)
* Titik Nadir Demokrasi (1995)
* Tuhanpun Berpuasa (1996)
* Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
* Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
* Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997)
* 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998)
* Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
* Kiai Kocar Kacir (1998)
* Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
* Keranjang Sampah (1998)
* Ikrar Husnul Khatimah (1999)
* Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000)
* Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000)
* Menelusuri Titik Keimanan (2001)
* Hikmah Puasa 1 dan 2 (2001)
* Segitiga Cinta (2001)
* Kitab Ketentraman (2001)
* Trilogi Kumpulan Puisi (2001)
* Tahajjud Cinta (2003)
* Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003)
* Folklore Madura (2005)
* Puasa ya Puasa (2005)
* Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara)
* Kafir Liberal (2006)
* Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)
- www.padhangmbulan.com -